JAKARTA, KOMPAS — Koridor hukum saat ini dinilai masih memadai sebagai acuan Otoritas
Jasa Keuangan untuk mengaturdan mengawasi lembaga keuangan. Namun, OJK dinilaimasih perlu meningkatkan peran pengawasan karena selamaini sejumlah indikasi pelanggaran terkesan tidak terdeteksi.
Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan menilai,Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sudah memadai untuk mengawasi sektor keuangan. Namun, penegakan hukum belum dilakukan dengan baik. ”Permasalahan OJK bukan semata-mata permasalahan perundang-undangan, tetapi soal kelemahan peran lembaga pengawasan sehingga terkesan tidak profesional,”ujarnya saat dihubungi, Senin(6/7/2020).
Pada Januari 2020, DPR memasukkan revisi UU No 21/2011 tentang OJK dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU prioritas pada 2020.Namun, akhirnya ditunda hingga Prolegnas 2021.
Pada awal Juli 2020, Badan Legislasi DPR memasukkanperubahan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dalam Prolegnas 2020.
Menurut Anthony, penetapan OJK sebagai lembaga pengawas pada 2012 untuk memastikan agar industri keuangan bekerja lebih fokus dan baik. Namun, dalam pelaksanaannya, peran OJK dinilai kurang maksimal. Kasus gagal bayar investasi yang cukup banyak terjadi ditengarai akibat peran OJK selaku lembaga pengawasan masih lemah.
OJK bertugas menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasiterhadap keseluruhan kegiatandi sektor keuangan. Sebelumnya tugas pengawasan perbankan di tangan BI.
Peran OJK selaku pengawas lembaga keuangan nonbank sangat penting.
Namun, lanjut Anthony, selama ini tindakan-tindakan investasi spekulatif terkesan tidak terdeteksi. ”Di pasar modal banyak saham gorengan yang harganya bisa naik dan turun tiba-tiba tanpa sentimen pendukung. Meski terindikasi adapermainan harga dan insidertrading, tetap saja seolah adapembiaran dari lembaga pengawas,” ujarnya.
Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo menegaskan, saat ini OJK fokus menjalankan fungsi dan tugas lembaga, termasuk menangani dampak Covid-19 diIndonesia. ”Hal itu lebih penting dan harus diutamakan karena negara ini sedang membutuhkan biaya untuk penanganan Covid-19,” kata Anto.
Ia memastikan OJK bekerja sesuai amanat UU No 21/2011dengan konsisten sehinggaamanat UU akan tercapai.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah berpendapat, kinerja OJK dalam menanggapi kondisi pandemi covid-19 sudah cukup baik. Hal ini bisa dilihat dari OJK yang mengambil kebijakan pelonggaran restrukturisasi yang mampu menahan lonjakan kredit macet. ”Dalam situasi pelemahan aktivitas ekonomi akibat pandemi Covid-19, diperlukan konsentrasi tinggi disertai kekompakan pemangkukebijakan,” ucapnya.
Terkait inisiatif DPR memasukkan perubahan UU No 23/1999 ke Prolegnas 2020, menurut Piter, banyak hal mendesak yang perlu direvisi dalam UU BI. ”Tetapi tidak ada urgensi untuk mengembalikan pengawasan bank ke BI,” ujar-nya. (DIM)
KOMPAS> 7 Juli 2020. hal: 10