LEGISLASI: DPR Turunkan Target Prolegnas karena Pandemi Covid-19

JAKARTA, KOMPAS — Kondisi pandemi Covid-19 menjadi alasan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengevaluasi serta menurunkan target Program Legislasi Nasional Tahun 2020. Rencana menurunkan target Prolegnas ini paradoks karena di sisi lain terlihat upaya DPR melanjutkan atau mempercepat pembahasan sejumlah rancangan undang-undang yang problematik, seperti RUU Cipta Kerja, RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan RUU Pemasyarakatan.

DPR dan pemerintah telah menetapkan 50 RUU masuk ke dalam Program Legilasi Nasional (Prolegnas) 2020. Namun, pandemi Covid-19 mengakibatkan pembahasan RUU yang tercantum di dalam Prolegnas 2020 itu tidak optimal dilakukan. Banyak dari RUU yang masuk menjadi prioritas pembahasan bahkan belum dapat dibahas sama sekali di tingkat komisi.

Dari 50 RUU yang disepakati masuk sebagai Prolegnas 2020, 37 RUU di antaranya adalah RUU usulan DPR, 10 RUU usulan pemerintah, dan 3 RUU adalah RUU limpahan dari DPR periode sebelumnya. Dari 50 RUU yang masuk Prolegnas tersebut, sedikitnya ada 13 RUU dari usulan DPR yang diproyesikan akan dikeluarkan dari Prolegnas.

Untuk menurunkan target Prolegnas itu, Badan Legislasi (Baleg) DPR mengadakan rapat dengan perwakilan setiap komisi di DPR, Selasa (30/6/2020), di Jakarta.

Rapat membahas perkembangan pembahasan setiap RUU yang ada di komisi dan memastikan apakah pembahasan RUU itu diteruskan atau tidak di dalam Prolegnas 2020. Menurut rencana, DPR juga akan rapat dengan pemerintah, Kamis ini, untuk membahas RUU yang merupakan usulan pemerintah.

Baca juga: Kerja Parlemen di Tengah Virus Korona

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, evaluasi dan penarikan sejumlah RUU itu dilakukan supaya tidak menjadi beban lembaga.

”Sekalipun RUU itu ada yang ditarik atau dikeluarkan dari dalam Prolegnas, nanti masih bisa diusulkan lagi di dalam Prolegnas 2021, yang akan dibahas pada Oktober mendatang. Sebab, kalau dipaksakan, dan kemungkinan RUU tidak selesai dibahas pada tahun ini, hal itu akan memberikan beban kepada lembaga DPR,” katanya.

Supratman mengatakan, DPR memiliki tanggung jawab kinerja kepada publik. Penyelesaikan legislasi merupakan salah satu di antaranya. Penyelesaian legislasi yang minim tentu akan menjadi catatan kurang baik di mata publik.

Oleh karena itu, daripada target Prolegnas itu menjadi beban lembaga, sebaiknya masing-masing komisi mempertimbangkan dengan cermat RUU mana saja yang dapat diteruskan pembahasannya dan RUU mana yang kemungkinan tidak bisa dibahas dalam tahun ini sehingga sebaiknya dikeluarkan dari daftar Prolegnas 2020.

Dalam rapat, tidak ada putusan yang diambil. Baleg hanya memberikan masukan dan dorongan kepada setiap komisi terkait perkembangan pembahasan setiap RUU di dalam komisi. Sebagai contoh, ada tiga RUU di Komisi I yang didorong agar ditarik dari Prolegnas, yakni RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, RUU Penyiaran, dan RUU Keamanan Laut.

Anggota Komisi I DPR, Nurul Arifin, di dalam rapat mengatakan, selain tiga RUU itu, ada RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang merupakan usulan pemerintah. RUU itu merupakan prioritas penyelesaian di Komisi I sehingga untuk tahun ini hanya RUU tersebut yang akan diteruskan pembahasannya di DPR.

”Untuk RUU PDP, sesuai putusan Bamus tanggal 27 Maret 2020, yang memprioritaskan rapat terkait dengan penanganan Covid-10, maka kami di masa sidang ketiga kemarin tidak mengagendakan pembahasan RUU PDP. Pada masa sidang keempat ini, pada 4 Juli, Komisi I DPR akan melakukan RDP dan RDPU dengan pejabat pemerintah, organisasi masyarakat, dan pakar dalam rangka menerima masukan publik,” paparnya.

RUU lain yang didorong Baleg untuk ditarik dari Prolgenas 2020 ialah RUU Pertanahan (Komisi II), RUU Kehutanan dan RUU Perikanan (Komisi IV), RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat (Komisi VI), RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Komisi VIII), RUU Perselisihan Hubungan Industrial (Komisi IX), RUU Pramuka (Komisi X), serta RUU Perpajakan dan RUU Otoritas Jasa Keuangan (Komisi XI).

Khusus Baleg, ada satu RUU yang akan ditarik, yakni RUU Penyadapan.

Adapun untuk RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan di Komisi III, Wakil Ketua Komisi III Pangeran Khairul Saleh mengatakan, dua RUU itu akan dirampungkan oleh komisinya dalam dua masa sidang.

Perkembangan terakhir, kelanjutan dua RUU yang merupakan usulan pemerintah itu masih harus menunggu sikap pemerintah selaku pengusul. Surat dari Komisi III DPR melalui pimpinan DPR akan dilayangkan kepada Presiden untuk meminta kepastian apakah RUU itu dilanjutkan pembahasannya ataukah tidak.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mulyanto, mempertanyakan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), yang tidak termasuk sebagai RUU yang diusulkan untuk dikeluarkan dari Prolegnas 2020. Masukan masyarakat yang luas terkiat RUU HIP itu diharapkan menjadi pertimbangan bagi Baleg DPR untuk juga mempertimbangkan menarik RUU tersebut dari Prolegnas.

“Kalau memungkinkan dan disetujui oleh fraksi-fraksi lain, bisa tidak RUU itu ditarik sehingga betul-betul DPR mengamati dinamika perkembangan politik di Tanah Air, sambil mencari jalan proaktif yang lebih menyejukkan,” katanya.

Baca juga: Pascapenundaan RUU HIP, DPR Janji Serap Kritik Publik

Supratman mengatakan, RUU HIP bukan menjadi ranah kewenangan Baleg lagi. Sikap DPR atas RUU HIP akan menunggu putusan dari pimpinan DPR. Alasannya, draf RUU HIP telah dikirimkan kepada Presiden. Sikap apa pun terkait dengan RUU itu menjadi ranah pimpinan DPR untuk memutuskannya setelah mengadakan rapat Bamus.

Tidak sesuai kebutuhan

Pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Khairul Fahmi, menilai, sikap DPR untuk mengeluarkan sejumlah RUU dari Prolegnas patut dipertanyakan.

”Jika alasannya pandemi, publik sebenarnya bisa memahami kalau kerja legislasi itu tidak optimal. Namun, alasan yang sama tidak berlaku untuk RUU lainnya yang justru oleh publik dinilai problematik, seperti RUU Cipta Kerja dan pengesahan RUU Minerba. Jadi, ada persoalan politik hukum yang tecerminkan dari pilihan DPR ini,” tutur Fahmi.

Kebijakan meneruskan pembahasan sejumlah RUU yang problematik, lanjut Fahmi, menunjukkan pilihan prioritas DPR dalam politik hukum cenderung tidak demokratis, elitis, tidak sesuai kebutuhan publik, dan tidak memberi cukup ruang untuk aspirasi publik, serta tidak responsif.

Dengan alasan itulah harusnya DPR merasa terbebani dalam pertanggungjawabannya di hadapan publik, bukan karena pandemi. Di samping itu, alasan-alasan prinsip demokrasi, kebutuhan publik, dan aspirasi masyarakat harusnya menjadi basis bagi DPR dalam mengusulkan suatu RUU, tidak semata-mata meloloskan RUU yang sesuai dengan kepentingan elite.

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan, target Prolegnas DPR dari tahun ke tahun terlalu ambisius sehingga tidak sesuai dengan manajemen internal mereka yang belum optimal. Penarikan sejumlah RUU dari Prolegnas pun sudah dapat diperkirakan sejak awal karena penyusunan Prolegnas tidak didasarkan pada ukuran yang jelas.

”Ukuran bagi pembentukan Prolegnas itu mestinya ialah arah pembangunan. Ke mana arah pembangunan negara, itulah yang harus menjadi patokan RUU atau regulasi apa saja yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan tersebut. Misalnya, dengan berbasis pada RPJMN. Namun, kenyataannya penyusunan Prolegnas tidak berbasis hal itu sehingga ada kecenderungan RUU disusun tidak realistis dan tidak sesuai dengan kebutuhan,” paparnya.

Baca juga: DPR Terus Bahas RUU Cipta Kerja di Masa Reses

Melihat kinerja DPR dari tahun ke tahun, menurut Fajri, kerja legislasi DPR tidak pernah terpenuhi dengan optimal. Bedanya, kali ini DPR dapat beralasan dengan kendala pandemi.

”Idealnya, kalau dengan alasan pandemi, sebaiknya memang semua RUU tidak dibahas, kecuali  yang terkait dengan penanganan pandemi, seperti penundaan Pilkada dan Perppu Nomor 1 Tahun 2020,” katanya.

KOMPAS, RABU, 01072020 Halaman. 2.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.