JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi kalah telak dalam perkara mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir setelah kasasi mereka ditolak oleh Mahkamah Agung. Penolakan ini dapat menjadi evaluasi bagi KPK untuk lebih memperkuat penyidikan, dakwaan, dan penuntutan di masa mendatang.
Di sisi lain, putusan bebas Sofyan Basir tersebut juga membuat sejumlah kalangan mempertanakan komitmen MA dalam pemberantasan korupsi.
Sofyan divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang dipimpin Hariono pada 4 November 2019. Atas putusan tersebut, KPK pun mengajukan kasasi pada 15 November 2019. KPK mengajukan kasasi karena berpandangan bahwa putusan tersebut bukanlah putusan bebas murni.
Menurut majelis kasasi, judex facti atau Pengadilan Tipikor Jakarta tidak salah dalam menerapkan hukum
KPK melihat majelis hakim mengakui dalam pertimbangannya bahwa Sofyan terbukti memberikan kesempatan, sarana, dan keterangan untuk mempercepat proses kesepakatan pembangunan PLTU Riau-1. KPK pun menyerahkan memori kasasi atas vonis bebas Sofyan pada 28 November 2019. Akan tetapi, perjuangan KPK kandas karena MA menolak permohonan kasasi KPK.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, Rabu (17/6/2020) mengatakan, menurut majelis kasasi, judex facti atau Pengadilan Tipikor Jakarta tidak salah dalam menerapkan hukum. Berdasarkan situs MA, para hakim yang menangani perkara tersebut adalah Sofyan Sitompul, Krisna Harahap, Abdul Latief, Leopold Luhut Hutagalung, dan Suhadi selaku ketua majelis kasasi.
“Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah tepat dan benar dalam pertimbangan mengenai penerapan hukumnya bahwa terdakwa tidak terbukti terlibat membantu melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan,” kata Andi.
Alasan kasasi dari penuntut umum sudah merupakan fakta dan penilaian hasil pembuktian. Atas dasar dan alasan tersebut majelis kasasi dengan suara bulat menolak jaksa kasasi KPK
Selain itu, alasan kasasi dari penuntut umum sudah merupakan fakta dan penilaian hasil pembuktian. Atas dasar dan alasan tersebut majelis kasasi dengan suara bulat menolak jaksa kasasi KPK. Perkara diputus pada Selasa (16/6/2020).
Adapun Sofyan ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam proyek pembangunan PLTU Riau-1 pada 6 Mei 2019. Kasus ini merupakan pengembangan perkara suap bekas Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.
Selain Eni, mereka yang juga diproses hukum dalam perkara ini adalah pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo; mantan politisi Golkar Idrus Marham; dan Direktur PT Borneo Lumbung Energy & Metal Samin Tan. Dalam kasus itu, Sofyan dijerat dengan pasal terkait perbantuan kejahatan.
Kekalahan ini menjadi pukulan telak bagi KPK. Sebelumnya, KPK berhasil menang atas mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad pada 2011 dan mantan Bupati Rokan Hulu Suparman pada 2017. Mochtar divonis bebas Pengadilan Tipikor Bandung (Jabar) dan Suparman divonis bebas di Pengadilan Tipikor Pekanbaru (Riau). Putusan bebas keduanya dianulir MA, sehingga tetap dinyatakan terbukti bersalah. (Kompas, 5/11/2019).
Akan tetapi, KPK juga pernah kalah dalam kasasi. Majelis kasasi MA pernah melepas mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung dari segala tuntutan terkait kasus penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada Bank Dagang Nasional Indonesia. MA membenarkan terjadinya perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan itu bukan masuk ranah pidana.
Baca juga: KPK Tetap Lanjutkan Proses PK Syafruddin Temenggung
Selain pada kasus Syafruddin, MA juga pernah memenangkan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo pada 2017. Sebelumnya, Hadi juga pernah menang melawan KPK di sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2015.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK menghormati putusan pengadilan, meskipun dari sejumlah pihak lain yang diproses dalam kasus ini semuanya divonis bersalah.
“KPK dari awal proses penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan meyakini bukti-bukti dalam perkara ini kuat,” kata Ali.
Hal tersebut didasari dari fakta-fakta hukum hasil persidangan perkara terdakwa Eni, Budisutrisno, dan Idrus. Seluruhnya telah terbukti bersalah dan berkekuatan hukum tetap. KPK juga meyakini bahwa ada bukti permulaan yang cukup dan kemudian diperdalam pada proses penyidikan. Seluruh rangkaian perbuatan terdakwa Sofyan tersebut telah terurai jelas di dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Baca juga: Selain Vonis Terpidana Korupsi Ringan, Kerugian Negara yang Dikembalikan Juga Kecil
Eksaminasi putusan
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengaku kecewa dengan putusan MA ini. Sebab, KPK telah menyampaikan bukti di persidangan dengan cukup rinci.
Menurut Kurnia, putusan ini menjadi titik krusial komitmen MA dalam pemberantasan korupsi terutama dalam mengambil putusan pada kasasi. ICW pernah mengkritisi putusan MA saat membebaskan Syafruddin. “Dengan dilantiknya Ketua MA (M Syarifuddin) yang baru, seharusnya hal ini menjadi evaluasi prioritas,” kata Kurnia.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat FH UGM), Oce Madril, mengungkapkan, putusan MA yang memenangkan Sofyan dapat melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab, MA beberapa kali memberikan putusan lepas dan bebas pada kasus yang terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan nilai korupsi yang besar. Hal tersebut bisa melemahkan KPK dan penegak hukum lainnya dalam memberantas korupsi.
Oce berharap, lembaga peradilan melihat sebuah kasus secara obyektif. Karena itu, perlu ada evaluasi terhadap MA dalam mengambil putusan.
KPK harus mengevaluasi apa saja titik kelemahan dari alat bukti, dakwaan, dan tuntutan. Jika bukti kuat, seharusnya tidak akan bebas. Kalau lemah, itu bisa bebas (Oce Madril)
Meskipun demikian, KPK sebagai penegak hukum tetap harus melakukan eksaminasi secara serius terhadap putusan tersebut. “KPK harus mengevaluasi apa saja titik kelemahan dari alat bukti, dakwaan, dan tuntutan. Jika bukti kuat, seharusnya tidak akan bebas. Kalau lemah, itu bisa bebas,” kata Oce.
Evaluasi tersebut dapat menjadi bahan pembelajaran KPK ke depan. Dalam kasus pada Sofyan, KPK dapat melakukan peninjauan kembali (PK) atas kekeliruan dari hakim. Namun, untuk melakukan PK, dibutuhkan upaya yang sangat besar.
Wakil Ketua KPK 2015-2019 Saut Situmorang mengaku, menghargai putusan dari para hakim. Namun, ia tetap berharap para penyidik KPK melakukan pemberkasan dengan rapi sebab kasus tersebut masih dapat dibuka kembali jika ada bukti-bukti baru.
Ia menjelaskan, dalam setiap kasus terdapat kedaluwarsanya. Pada Pasal 78 Ayat (1) angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan, masa kadaluwarsa kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup adalah 18 tahun.
KOMPAS, KAMIS, 18062020 Halaman 3.