PAJAK PRODUK DIGITAL: Menkeu Sri Mulyani Bicara soal Pajak Produk Digital

JAKARTA, KOMPAS — Langkah Indonesia mengenakan pajak pertambahan nilai atas produk digital tidak melanggar peraturan dan konsensus global. Indonesia juga bukan satu-satunya negara yang mengenakan pajak atas produk digital.

”Pemerintah mengatur pajak pertambahan nilai bagi subyek pajak luar negeri, sementara Kantor Perwakilan Dagang AS atau USTR mempermasalahkan (pemungutan dengan skema) pajak penghasilan,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang akhirnya menanggapi sikap Amerika Serikat perihal pengenaan pajak digital  dalam telekonferensi pers, Selasa (16/6/2020).

Indonesia resmi mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk digital dari luar negeri mulai 1 Agustus 2020. Berdasarkan Peraturan Menkeu No 48/2020, produk digital dalam bentuk jasa atau barang tidak berwujud yang diakses konsumen dalam negeri dikenai pajak 10 persen.

Presiden AS Donald Trump keberatan jika perusahaan berbasis digital dari negaranya dikenai pajak. Mengutip berita di media AS, The New York Times, Trump menginstruksikan USTR untuk menginvestigasi sembilan negara yang memungut pajak produk digital. Beberapa negara itu, antara lain, Brasil, India, Inggris, Indonesia, dan negara-negara Uni Eropa. Investigasi dilakukan dengan dugaan pelanggaran konsensus global.

Negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dan G-20 tengah merumuskan pengenaan pajak atas layanan digital berdasarkan kehadiran ekonomi signifikan (significant economic presence). Proses pencapaian konsensus sedang berlangsung hingga akhir 2020.

Konsensus internasional, termasuk Indonesia, berencana mengenakan pajak langsung terhadap perusahaan-perusahaan layanan digital. Namun, pengenaan pajak langsung dihadapkan pada berbagai persoalan, antara lain persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B).

Baca juga : Pemungutan PPN atas Produk Digital Tidak Melanggar Konsensus

Sri Mulyani mengatakan, Indonesia hanya mengatur pemungutan PPN bagi subyek pajak luar negeri dalam PMK No 48/2020. Subyek pajak luar negeri itu adalah perusahaan berbasis digital yang menawarkan jasa atau barang di dalam negeri. Mereka mesti memungut atau mengumpulkan PPN untuk disetorkan kepada pemerintah.

”Sebagai contoh, Netflix. Perusahaan digital itu menjual jasa di dalam negeri, tetapi tidak berada dalam yurisdiksi RI. Layanan mereka dinikmati warga negara Indonesia sehingga menghasilkan nilai tambah yang merupakan subyek PPN,” katanya.

Menurut Sri Mulyani, pengenaan PPN tidak akan menimbulkan persoalan karena PPN dibayar konsumen, bukan perusahaan digital. Oleh karena itu, langkah indonesia menerapkan PPN tidak melanggar peraturan dan konsensus global sebagaimana dipermasalahkan USTR.

Pemungutan PPN atas produk digital penting karena berpotensi meningkatkan penerimaan negara.

Pemungut PPN
Pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas produk digital dari luar negeri akan dilakukan pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PSME) yang ditunjuk Menkeu melalui Direktur Jenderal Pajak. Mereka adalah pedagang/penyedia jasa luar negeri, penyelenggara PSME dalam negeri, atau penyelenggara PSME luar negeri.

Baca juga : G-20 Serukan Persatuan Bidik Pajak Digital 1.300 Triliun Per Tahun

Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo menambahkan, peraturan mengenai proses penunjukan pelaku usaha perdagangan melalui PSME yang memungut, menyetor, dan melaporkan PPN akan selesai pada Juli 2020. Dengan demikian, PPN bisa masuk ke kas negara mulai Agustus 2020.

”Harapannya, Agustus mulai dipungut PPN atas produk digital tersebut,” kata Suryo.

Pemungutan PPN atas pemanfaatan produk digital dari luar negeri diharapkan dapat menciptakan kesetaraan berusaha bagi pelaku usaha di dalam negeri dan luar negeri serta antara usaha konvensional dan digital. Produk digital dari luar negeri akan diperlakukan sama seperti berbagai produk konvensional yang telah dikenai PPN.

Sebelumnya, pengajar hukum pajak pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Adrianto Dwi Nugroho, berpendapat, kebijakan yang diambil Indonesia tidak akan bertentangan dengan proses pencapaian konsensus internasional sepanjang pemungutan pajak tidak menggunakan persyaratan atau kriteria ekonomis.

”Pemerintah hanya mengatur pengenaan PPN yang dibebankan kepada konsumen, tidak menyasar perusahaan layanan digital,” kata Adrianto.
Pemungutan PPN juga tidak melanggar ketentuan dalam negeri. UU PPN menggunakan sistem daftar negatif yang hanya mengatur barang atau jasa yang tidak menjadi obyek pajak.

KOMPAS, RABU, 17062020 Halaman 10.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.