INDUSTRI ASURANSI: OJK dan Rejuvenasi Asuransi

Kasus gagal bayar Jiwasraya atas kewajiban dalam polis JS Plan yang mencapai Rp 16,7 triliun dan ekuitas yang konon minus Rp 29 triliun, tunggakan klaim nasabah Bumiputera, dugaan adanya masalah investasi di penanggung lain dan imbas kasus Jiwasraya pada penanggung lain, dampak terhadap pasar modal dan sebaliknya, belum berujung.

Rantai kejadian menimbulkan tudingan lemahnya efektivitas peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bahkan menimbulkan pendapat agar OJK dibubarkan dan mengembalikan pengawasan jasa keuangan ke Bank Indonesia (BI). Faktanya, sebelum OJK lahir, sektor asuransi dan pasar modal diawasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, bukan oleh BI.

Atas tudingan itu, pejabat OJK menangkis bahwa sebelum giliran OJK, tanggung jawab ada pada pemegang saham dan dewan komisaris. Pembahasan ini tak akan menilai lembaga mana yang bersalah atau lebih bersalah.

Faktanya, sebelum OJK lahir, sektor asuransi dan pasar modal diawasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, bukan oleh BI.

Berbeda dengan sektor perbankan yang di bail-out pemerintah dalam jumlah yang sangat besar, sektor asuransi bangkit dari krisis ekonomi Asia 1998 tanpa di-bail-out. Hal itu tak berarti sektor ini tak terpukul oleh krisis itu. Mungkin perlu dikaji seberapa jauh dampak tak adanya bail-out dari pemerintah atas apa yang terjadi pada dua perusahaan asuransi jiwa tertua di negeri ini, mana dampak bisnis murni, mana tindakan penyalahgunaan wewenang.

Apapun, gagal bayar itu tak muncul saat krisis ekonomi. Namun, secara umum, industri asuransi tumbuh dua digit, misalnya dari 2015 sampai 2019 hanya pada 2017 tumbuh hanya 8,56 persen. Klaim bruto juga selalu lebih kecil dari premi bruto dalam periode sama. Ironisnya, ketika nasabah Jiwasraya dan Bumiputera dirundung malang, perusahaan-perusahan asuransi jiwa patungan asing terus berkembang.

Menurut UU No. 21/2011 tentang OJK, OJK didirikan untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh berkelanjutan dan stabil pada sektor jasa keuangan yang diselenggarakan secara teratur, adil, transparan, akuntabel, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Misi luhur tersebut menuntut pengaturan dan pengawasan OJK atas kegiatan sektor jasa keuangan yang terpadu, independen, dan akuntabel.

Menurut pasal 49 UU OJK, selain pejabat penyidik Kepolisian, pejabat PNS dapat diberi tugas dan tanggung jawab pengawasan sektor keuangan di OJK dengan wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam KUH Pidana menjadi salah satu ciri kewenangan OJK yang tinggi.

Pengambilalihan kewenangan dari lembaga sebelumnya tentu mengandung unsur ketidakpuasan, paling tidak disertai harapan OJK akan menjadi regulator dan pengawas yang lebih baik. Apakah setelah delapan tahun OJK sudah memenuhi misinya?

Dari berbagai informasi publik khususnya tentang Jiwasraya, dapat disimpulkan mungkin sebagian sumber permasalahan adalah kombinasi dari sejumlah faktor mulai dari kompetensi dan integritas manajemen, struktur organisasi serta kepatuhan dan tata kelola korporasi yang baik (GCG) dan pengawasan dalam arti luas serta pilihan solusi permasalahan yang tidak tepat untuk jangka lama, selain faktor permodalan.

Apakah setelah delapan tahun OJK sudah memenuhi misinya?

Untuk mengetahui keadaan sebenarnya, akan menarik adanya kajian tentang perbedaan sistem pengelolaan dan pengawasan perusahan-perusahaan yang gagal bayar tersebut dengan sesama penanggung kokoh yang terus berkembang dan memanfaatkan hasilnya untuk kemajuan jasa keuangan pada umumnya.

Menurut Hotbonar Sinaga (Kompas, 31/12/2019), Jiwasraya tidak memiliki direktur teknik, direktur manajemen risiko, direktur kepatuhan. Dalam Sarasehan Reformasi Asuransi 27 Februari 2020, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance dan mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Mas Ahmad Daniri mengemukakan Jiwasraya tidak memisahkan fungsi penerimaan premi dan investasi. Peraturan OJK No. 73/POJK.05/2016 Tentang Tata Kelola Perusahaan mewajibkan adanya direktur kepatuhan paling lambat akhir 2019.

Lalu, dengan POJK No.43/POJK-05/2019 jabatan direktur kepatuhan dapat dirangkap oleh direksi lain yang tidak membawahi fungsi teknik asuransi, keuangan, pemasaran dan memberikan hak kepada OJK untuk meminta penunjukan direktur yang membawahi fungsi kepatuhan. Apakah struktur direksi tersebut sesuai prinsip prudensial dalam pengelolaan dana masyarakat yang besar? Mengapa terjadi? Jika hal itu menjadi contributing factor dominan gagal bayar, mungkin pemangku kepentingan memiliki pertimbangan lain yang belum diketahui publik.

Khusus Bumiputra, terlepas dari aspek efektivitas pengelolaan atau akuntabilitas OJK atas peran Pengelola Statuter yang ditunjuknya, kekosongan perundang-undangan tentang badan usaha mutual untuk jangka waktu lama mungkin berpengaruh besar pula.

Kolaborasi dengan pelaku bisnis

Pembubaran OJK akan dapat membawa sektor jasa keuangan kepada ketidakpastian dan berbagai implikasi baru. Yang terbaik adalah mengkaji seberapa jauh OJK telah memenuhi fungsinya dan apa yang perlu dibenahi. Kajian mungkin dapat dimulai dari UU yang mengatur seleksi, struktur dan kompartemental dalam struktur dan akuntabilitas OJK sebagai lembaga independen terpadu yang dapat menanggapi kebutuhan jasa keuangan secara efisien, termasuk aspek koordinasi internal OJK.

Berbagai masukan yang dikemukakan oleh Ketua Asosiasi-asosiasi Perasuransian Indonesia (AAJI, AAUI, AASI Apparindo) dalam sarasehan mencerminkan harapan peningkatan peran OJK.

Apakah hambatan sektor asuransi ada hubungannya dengan keberadaannya di bawah kompartemen Institusi Keuangan Non-Bank (IKNB) sementara jasa asuransi bersifat unik? Bahkan di antara sektor asuransi umum, jiwa, syariah dan jasa pendukungnya terdapat perbedaan besar yang artinya tidak dapat disamaratakan dengan satu peraturan, satu persyaratan untuk semua. Khusus untuk SDM IKNB, misalnya, bagaimana kesiapan memahami, mengatur dan mengawasi kompleksitas jasa asuransi dan mendorong pertumbuhannya?

Harapan lain agar OJK memiliki komisioner khusus untuk jasa asuransi, paling tidak terdapat deputy khusus untuk jasa asuransi, pengaturan yang terintegrasi, kebijakan yang mendorong pertumbuhan vis a vis “dilarang ini, sanksinya ini jika ……”, beban pelaporan yang berat sampai menghambat kegiatan bisnis. Juga mengapa Lembaga Penjamin Polis yang dundangkan siap sejak 2017 masih belum lahir? Menurut Mochtar Kusumaatmadja (Teori Pembangunan), hukum dapat berperan sebagai pedoman pembangunan.

Yang terbaik adalah mengkaji seberapa jauh OJK telah memenuhi fungsinya dan apa yang perlu dibenahi.

Sebagai regulator, OJK memegang tampuknya. Teori ini sejalan dengan pemikiran asosiasi agar OJK menitikberatkan perannya pada aspek strategi pengembangan jasa asuransi dan pengawasan dan membiarkan aspek bisnis berada di tangan mereka sepanjang OJK bertindak sebagai jaksa, polisi, hakim yang tegas terhadap pelanggaran yang timbul. Misalnya, mempidanakan penyalagunaan premi atau penundaan kewajiban pembayaran klaim.

Sebagai undangan, penulis juga menanyakan komitmen OJK dalam penerapan sanksi dari pengaduan konsumen atas penundaan pembayaran klaim dari jadwal yang telah disepakati atau diatur dalam polis atau jika penanggung tidak memenuhi putusan arbitrase membayar klaim dalam 30 hari sejak putusan arbitrase sesuai Pasal 40 POJK No. 69/POJK.05/2016.

Tidak sempurna suatu hukum yang bersifat memaksa yang tak memiliki sanksi formal. Tak akan bermanfaat suatu sanksi jika tak ditegakkan. Dalam bukunya The Behaviour of Law, Donald Black mendefinisikan hukum sebagai “kontrol sosial pemerintah”, aturan yang mendorong perilaku yang baik dan berguna untuk mencegah perilaku buruk.

Tanpa penegakan hukum, ketertiban tidak akan tercipta. Kondisi peraturan dipatuhi, mencegah pelanggaran, adalah opsi terbaik, bukan menjatuhkan sanksi saat dilanggar. Solusinya adalah peraturan yang menjawab kebutuhan semua pihak secara seimbang yang mendorong praktik bisnis yang baik. Salah satu bentuk transparansi dan akuntabilitas OJK, alangkah bagusnya jika OJK dapat terbuka tentang bagaimana peta jalan asuransi Indonesia. Entah apakah untuk pasar modal dan perbankan sudah tersedia.

OJK perlu mengawasi dirinya

Kedudukan OJK sebagai lembaga independen di luar pemerintah, tidak berarti bebas pengawasan. Pendapat Lord Acton bahwa “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” berlaku untuk semua. Menurut Pasal 26 UU No 21 Tahun 2011, OJK membentuk organ pendukung seperti Dewan Audit dan Komite Etik Governance mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner dan Komite Etik Manajemen mengawasi kepatuhan pejabat dan pegawai OJK terhadap Kode Etik.

Permasalahannya, independensi organ yang langsung di bawah Dewan Komisioner dapat diragukan. Apalagi anggota berstatus bawahan tak memiliki imunitas, seperti perlindungan status kepegawaian sebagaiman independensi pimpinan OJK yang tercermin di Pasal 17 UU OJK dalam jaminan tak dapat diberhentikan, kecuali sebab-sebab yang diatur di UU, seperti pelanggaran kode etik.

Kedudukan OJK sebagai lembaga independen di luar pemerintah, tidak berarti bebas pengawasan.

Lalu, apakah lembaga jasa keuangan yang membiayai keberadaan OJK tak perlu terwakili? Mungkinkah pihak yang diawasi bernyali menentang kebijakan OJK sekiranya tidak tepat? Ke mana tertanggung akan mengadu jika tak puas atas kebijakan OJK atau tak terlayani?

Akan terlalu jauh untuk membawa keluhan ke DPR. Apalagi, sesuai kodratnya, putusan DPR bersifat politis sehingga belum tentu mencerminkan kepentingan pelaku bisnis dan publik secara seimbang.

Terakhir, pasar mengharapkan efektivitas OJK meningkat dengan melibatkan mereka. Kolaborasi OJK dan partisipasi erat pelaku usaha akan menciptakan kultur yang tidak semata-mata bergerak di bawah politik pembangunan yang mengikuti peraturan semata tetapi berlandaskan kesamaan tujuan sehingga kebijakan yang berlaku akan mencerminkan kebutuhan masyarakat, khususnya jasa keuangan.

Hasil penelitian David Osborne dan Ted Gaebler (Reinventing Government, the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector), organisasi yang mission-driven lebih efisien, memberikan hasil yang lebih baik, lebih inovatif, fleksibel dan memiliki semangat yang lebih tinggi dari yang rule-driven. UU OJK perlu diubah jika di situ jawabannya.

(Junaedy Ganie Pemerhati Kebijakan Publik, Pakar Hukum dan Asuransi, Praktisi Bisnis)

KOMPAS, Selasa, 24032020 Hal. 6.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.