Perbankan adalah industri yang dikelola dengan sangat hati-hati, banyak aturan, serta mesti mematuhi tata kelola perusahaan yang baik. Para bankir juga tak ingin bank yang dikelolanya rugi, atau lebih parah lagi, kehilangan kepercayaan nasabah.
Pengalaman mengajarkan bank dan bankir membaca pertanda. Mereka tak akan gegabah melangkah dan memaksakan diri mengejar target kinerja tanpa perhitungan matang. Sebab, sekali saja tersungkur, kepercayaan masyarakat bisa sirna.
Bank juga melihat kondisi perekonomian global masih tak menentu. Faktor eksternal, seperti perang dagang Amerika Serikat-China yang belum kunjung usai, geopolitik, dan yang terbaru, wabah Covid-19, merupakan berbagai faktor yang diperhitungkan bank dalam mengambil keputusan.
Setiap akhir tahun, bank menyerahkan rencana bisnis bank kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, bank juga melihat kondisi terkini untuk memutuskan apakah tetap sesuai dengan target yang sudah ditetapkan atau merevisi target itu. Jika setelah tahun berjalan bank merasa targetnya perlu direvisi, bank akan menyampaikan revisi itu kepada OJK pada pertengahan tahun.
Wabah Covid-19 yang bermula di China membuat pertumbuhan ekonomi dunia tak kunjung pulih. Kondisi China, yang pertumbuhannya tahun ini diperkirakan merosot, akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Sebab, hubungan perdagangan Indonesia dan China cukup erat.
Berdasarkan data di laman Kementerian Perdagangan, ekspor Indonesia ke China pada Januari 2020 senilai 2,249 miliar dollar AS atau naik 17,65 persen dibandingkan dengan Januari 2019 yang senilai 1,911 miliar dollar AS. Sementara, impor Indonesia dari China pada Januari 2020 senilai 3,997 miliar dollar AS atau turun 4,1 persen dibandingkan dengan Januari 2019 yang senilai 4,168 miliar dollar AS.
Ekspor dan impor berkaitan erat dengan industri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor Indonesia pada Januari 2020 senilai 14,275 miliar dollar AS. Dari nilai tersebut, sekitar 74,09 persen di antaranya berupa bahan baku dan penolong. Jika impor merosot, diperkirakan kegiatan produksi di Tanah Air akan terpengaruh.
Menyikapi kondisi ini, bank mengambil langkah antisipasi untuk menghadapi berbagai kemungkinan.
PT Bank Central Asia Tbk melihat ulang kualitas nasabah korporasi. Adapun PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk lebih hati-hati berekspansi tahun ini. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk berupaya menjaga kualitas kredit, antara lain dengan menata kredit-kredit bermasalah pada akhir 2019, terutama di segmen komersial berupa kredit apartemen.
Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Kementerian Keuangan sudah mengeluarkan stimulus untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengantisipasi kredit bermasalah di sektor yang terkena dampak wabah Covid-19, dan mendorong konsumsi masyarakat.
Kebijakan terkait perbankan antara lain menurunkan giro wajib minimum (GWM) rupiah sebesar 50 basis poin bagi bank yang membiayai ekspor-impor. Kebijakan lain, menurunkan GWM valuta asing bank umum konvensional dari 8 persen menjadi 4 persen. Dengan cara itu, likuiditas valas di bank akan meningkat 3,2 miliar dollar AS.
Logikanya, jika likuiditas memadai, bank lebih leluasa mengucurkan kredit kepada nasabah dengan suku bunga yang terjaga. Persoalannya, jika kondisi ekonomi sedang tidak menentu, permintaan kredit bisa jadi berkurang. Sebab, pelaku usaha juga mengurangi produksi karena serapan pasar kurang kuat. Dengan semua hal ini, pemangku kepentingan bersiap siaga menghadapi berbagai kemungkinan. (DEWI INDRIASTUTI)
KOMPAS, Sabtu, 07032020 Hal. 13.