JAKARTA, KOMPAS — Keberhasilan pemerintah menegosiasi ulang harga gas Tangguh yang dijual ke Tiongkok menjadi momentum melakukan langkah serupa. Pada masa mendatang, kontrak baru penjualan gas untuk ekspor tidak boleh terlalu murah dan harus sesuai harga keekonomian.
Dengan demikian, penjualan gas untuk ekspor akan menguntungkan negara.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik menyampaikan hal itu dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (1/7). Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Edy Hermantoro, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sukhyar, serta Pelaksana Tugas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Johanes Widjanarko juga hadir.
”Keberhasilan menegosiasi ulang harga gas Tangguh akan menjadi momentum untuk memperbaiki harga jual gas yang tidak masuk akal. Saat ini, tim kami juga sedang menegosiasi ulang harga gas yang dijual ke Korea Selatan,” kata Jero. Gas yang dijual ke Korea tersebut berasal dari blok Tangguh, Papua Barat.
Jero menambahkan, pada masa mendatang, kontrak baru penjualan gas untuk ekspor tidak boleh terlalu murah. Harga jual gas harus menyesuaikan dengan harga minyak mentah sehingga memberikan keuntungan signifikan bagi pendapatan negara.
”Semoga dalam beberapa minggu mendatang sudah ada hasil dari renegosiasi penjualan gas ke Korea. Nanti akan kami umumkan hasilnya,” ujar Jero.
Ditinjau ulang
Harga baru gas Tangguh yang berlaku per 1 Juli 2014 akan ditinjau ulang pada 2018. Peninjauan ulang harga gas setiap empat tahun itu merupakan bagian dari kesepakatan.
”Pemerintahan yang baru diuntungkan karena harga gas Tangguh sudah dinaikkan. Saya berharap, pada 2018 nanti saat negosiasi ulang, harga gas Tangguh menjadi lebih baik daripada harga yang sekarang,” kata Jero.
Saat pertama kali dijual pada 2002, harga gas Tangguh 2,7 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Pada 2006, harga naik menjadi 3,3 dollar AS per MMBTU. Pada 2010, upaya negosiasi ulang pemerintah untuk memperbaiki harga menemui jalan buntu.
Pemerintah akhirnya berhasil menegosiasi ulang harga gas Tangguh menjadi 8,65 dollar AS per MMBTU terhitung 1 Juli 2014. Dengan masa kontrak penjualan gas sampai 2034, negara mendapat pemasukan sekitar Rp 251 triliun dari penjualan gas Tangguh. Jumlah itu empat kali lebih banyak daripada patokan harga lama. ”Tidak mudah menegosiasi ulang harga gas yang sudah tertera di dalam kontrak,” ujar Jero.
Terkait pasokan gas untuk kebutuhan dalam negeri, Widjanarko mengatakan, pemerintah tetap memprioritaskan kebutuhan gas domestik dibandingkan untuk keperluan ekspor. Tahun ini, porsi ekspor gas 47 persen dari keseluruhan produksi gas di dalam negeri. Sisanya, yakni 53 persen, untuk kebutuhan dalam negeri.
”Sejak tahun ini, persentase kebutuhan gas dalam negeri sudah lebih besar ketimbang untuk yang diekspor. Sebelumnya, pada 2013, porsi gas yang dijual di dalam negeri dengan yang diekspor seimbang. Pada 2012, porsi ekspor 53 persen, sedangkan untuk dalam negeri 47 persen,” kata Widjanarko.
Devisa
Meski demikian, menurut Jero, ekspor gas penting untuk mendapatkan devisa. Di sisi lain, harga gas yang lebih murah didalam negeri akan mendorong produsen untuk menjual gas ke luar negeri.
”Ekspor gas tetap perlu untuk mendapatkan devisa karena cadangan gas kita cukup besar. Namun, pemenuhan kebutuhan dalam negeri harus jadi prioritas utama,” ujar Jero.
Mengutip data Dewan Energi Nasional, produksi gas di Indonesia 2.692 miliar standar kaki kubik (BSCF), sedangkan konsumsinya 1.327 BSCF pada 2013. Adapun yang diekspor mencapai 1.365 miliar BSCF.
Ketua Koordinator Gas Industri pada Kamar Dagang dan Industri Indonesia Achmad Widjaya mengemukakan, harga jual gas Tangguh ke Tiongkok seharusnya lebih tinggi. Hal itu untuk memberikan rasa keadilan bagi kalangan industri di dalam negeri yang masih menggunakan gas alam bertekanan (CNG). Saat ini, harga CNG lebih mahal daripada harga gas bumi, termasuk yang dijual ke Tiongkok.
”Harga CNG untuk industri di dalam negeri di atas 10 dollar AS per MMBTU, sedangkan harga gas yang dijual ke Tiongkok hanya 8,65 dollar AS per MMBTU. Hal ini akibat belum jelasnya kebijakan pemerintah untuk industri apakah akan memakai CNG atau gas bumi,” kata dia.
Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang menyusun cetak biru percepatan gas di dalam negeri yang meliputi suplai, permintaan, infrastruktur, dan harga. (APO)
Kompas, Rabu 2 Juli 2014, hal. 17