”Apa itu omnibus law, Fiq?” Itu pertanyaan saya kepada mantan anggota DPR 2014-2019, Teuku Taufiqulhadi. Itu saya ajukan kepadanya karena dia mengurungkan bertemu saya kali sebelumnya. ”Sebab,” dia memberi alasan, ”sedang membahas omnibus law bidang pertanahan”.
Sejak terbentuknya kabinet pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin, 2019-2024, Taufiqulhadi jadi staf khusus Menteri Pertanahan Sofyan Djalil. Taufiqulhadi menjawab pada esensinya omnibus law itu usaha menciptakan sistem hukum meungkléh (bahasa Aceh: spesifik) yang berlaku hanya pada wilayah tertentu dengan tujuan menyederhanakan prosedur hukum untuk menarik investasi.
Presedennya AS dan Inggris. Namun, pelaksanaan omnibus law paling dramatis berlangsung di China. Ini dimulai dengan usaha Deng Xioping (1904-97), pemimpin berpengaruh pasca-Mao Zedong (1883-1976), memperlakukan omnibus law di sebuah provinsi miskin China.
Penerapan hukum ini direalisasikan dengan memberikan otoritas penuh ke investor asing berkinerja tanpa tunduk pada undang-udang yang berlaku di tingkat nasional. Dalam arti kata lain, undang-undang yang berlaku di provinsi itu meungkléh. Dengan itu, kepastian hukum keberadaan investor asing terjamin 100 persen. ”Inilah awal,” simpul Taufiqulhadi, ”kebangkitan kapitalisme China”.
Namun, pelaksanaan omnibus law paling dramatis berlangsung di China.
Kebangkitan kapitalisme China, yang dengan cepat meninggalkan Jepang dan menyaingi AS dalam produksi kekayaan tingkat global, ketika keberhasilan penerapan omnibus law di satu wilayah diterapkan ke wilayah atau provinsi lain. Keberhasilan inilah yang menihilkan pengaruh ideologi (komunis) dalam pembangunan ekonomi, ”Yang dipatrikan,” ujar Taufiqulhadi, ”Dalam frasa Deng Xioping terkenal: ’Tidak penting apa warna kucing. Yang penting dia bisa menangkap tikus.”
Negara sebagai aktor
Jika penjelasan ini kita terima, lepas dari seluruh pernik-pernik teknikalnya, secara konseptual dan teoretis, ajuan UU omnibus law, di bawah koordinasi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, kepada DPR adalah usaha negara menjadi aktor dalam perekonomian. Frasa ini saya ambil dari Theda Skocpol dalam tulisannya ”Bringing the State Back In: Strategies of Analysis in Current Research”.
Tulisan yang merupakan pengantar buku kumpulan karangan berjudul Bringing the State Back In (1985) ini pada esensinya adalah sebuah kritik terhadap kaum liberal yang menihilkan peran negara dalam pembangunan ekonomi. Dengan menganalisis besarnya peran negara dalam pembangunan ekonomi yang bahkan berlaku di negara-negara industri Barat, Skocpol menciptakan frasa state as actors (negara sebagai para pelaku).
Dengan itu ingin dikatakan bahwa kontribusi negara, jadi bukan hanya pasar, cukup besar bagi pembangunan ekonomi. Akan tetapi, jika percakapan sedikit bersifat teoretis ingin kita lanjutkan, tampaknya langkah omnibus law China tadi tidaklah mengambil model apa yang disebut Robert Wade sebagai Governing the Market (1990). Model yang menjelaskan ”revolusi” industrialisasi negara-negara Asia Timur ini, terutama Jepang, memang bertumpu pada negara yang aktif demi pembangunan ekonomi.
Sebagaimana tecermin dalam judul buku itu, negara tak menghapuskan peranan pasar, tetapi mengendalikannya. Salah satu wujudnya, peran negara dalam menentukan sektor industri yang akan dikembangkan dan, dengan menggunakan ide ekonom Inggris terkenal John Maynard Keynes, menciptakan sistem perbankan sebagai basis finansialnya.
Ekspansi perekonomian Jepang dan negara-negara Asia Timur lain diargumentasikan terletak pada kreativitas berbasis domestik di bawah koordinasi negara membangun industri di mana pasar global membutuhkan produknya.
Omnibus law sebagai ”model” lain mengambil jalan berbeda. Negara, seperti diterapkan AS dan Inggris sebelum Deng melaksanakannya di China, berusaha menjadi aktor. Namun, berbeda dengan governing market, negara bernegosiasi dengan para pemilik modal untuk berinvestasi ke dalam wilayah yurisdiksinya dengan jaminan hukum (secara total) yang melindungi kinerjanya.
Sebagaimana tecermin dalam judul buku itu, negara tak menghapuskan peranan pasar, tetapi mengendalikannya.
Di dalam konteks ini, negara tak berusaha mengendalikan pasar. Sebaliknya, menggunakan cerita dunia persilatan tentang ”meminjam tenaga lawan”, negara memanfaatkan ”dengan efektif” kekuatan pasar (modal yang datang dari luar negara) berartikulasi secara ekonomi di wilayahnya.
Kombinasi ”efek tetes ke bawah” (trickle down effects) dan serangkaian transfer of knowledge, technology and skills (alih pengetahuan, teknologi, dan keterampilan) dari kinerja investor itu bukan saja memberikan dasar ”kemakmuran” material bagi rakyat, melainkan juga mengokohkan dasar teknikal pembangunan ekonomi bersifat kapitalis. Ini terutama terjadi karena alih pengetahuan, teknologi, dan keterampilan pada akhirnya memperkuat dasar teknikal bagi kemandirian sebuah bangsa berartikulasi di percaturan industri global.
Maka, mengacu kembali kepada Taufiqulhadi di atas, kemajuan pesat dan mencengangkan ekonomi China lebih mengacu kepada ”model” omnibus law daripada governing market yang membimbing negara-negara Asia Timur lain.
Dengan strategi ”meminjam tenaga lawan”, secara terbatas, di bawah payung omnibus law, sebagai aktor negara membiarkan kekuatan pasar berkinerja maksimal di wilayah-wilayah tertentu. Kelak, seperti kini terjadi di China, negara kembali mengambil supremasi untuk menyeimbangkan kekuatan pasar (yang berlaku pada tingkat global) dan kekuatan ”nonpasar” yang berlaku pada tingkat domestik.
Sampai di sini, saya ingat tulisan Rana Foroohar di Newsweek, Januari 2009. Dengan judul ”Why China Works?”, Foroohar menjawab karena China routinely breaks every rule in the economic textbook” (dengan rutin melanggar setiap ketentuan buku acuan ilmu ekonomi). Ini merupakan catatan atas krisis finansial global 2009. Sementara raksasa ekonomi AS dan Eropa bertumbangan, perekonomian China justru tumbuh. ”China is the only major economy that is likely to show significant growth this year,” tulis wartawan ekonomi ini awal 2009.
BUMN, demokrasi, dan omnibus law
Jika interpretasi politik-ekonomi saya ini mendekati kebenaran, konsep omnibus law yang diajukan Airlangga ke DPR dewasa ini bisa kita lihat sebagai refleksi kesadaran ”baru” negara tentang kekuatan pasar. Secara sederhana dapat dikatakan kian lama, terutama karena ditunjang perkembangan teknologi komunikasi yang menembus batas negara-bangsa, kekuatan aktor-aktor pasar kian tak terhindarkan.
Maka, sebagai otoritas politik ”tertinggi”, negara harus punya strategi ”tepat” dalam ”menggauli” kekuatan yang tak bisa dibendung itu. Ini tampaknya yang mendorong negara tergerak jadi aktor dalam wujud ”baru”.
Peran ”baru” itu terlihat dari usaha negara memahami kekuatan pasar secara lebih ”realistis”. Realistis di sini adalah negara secara struktural tak lagi berada di posisi kuat, seperti dilukiskan Jeffrey Winters dalam Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State (1996), dalam berhadapan dengan capital controllers (pengendali modal). Mengacu ke Winters, periode negara kuat atas capital controllers ini bahkan hanya berlangsung singkat, 1974-1982, ketika keabsahan politik negara disangga kenaikan harga minyak mentah.
Peran ”baru” itu terlihat dari usaha negara memahami kekuatan pasar secara lebih ”realistis”.
Tentang mengapa negara masih bertahan hingga ke ujung 1990-an adalah karena dalam interpretasi saya, struktur global masih relatif mendukung. Yaitu Bank Dunia masih merupakan lembaga ekonomi penting bagi negara-negara berkembang dan secara ”moral” merasa bertanggung jawab, seperti terlihat dalam karya Patrick Allan Sharma, Robert McNamara’s Other War: The World Bank and International Development (2017).
Secara keseluruhan, Bank Dunia masih mendefinisikan diri sebagai ”mitra” negara-negara berkembang dalam memberantas kemiskinan dan keterbelakangan. Inilah yang ditekankan dalam laporan Bank Dunia yang ditulis Lester B Pearson, ”Patners in Development” (1969).
Maka, walau globalisasi berdasarkan ekonomi pasar kian kuat menyeruak pada 1980-an itu, program-program Bank Dunia, seperti penyesuaian struktural (structural adjustment), sangat membantu memberikan ”pelampung” bagi negara-negara berkembang agar tak ”tenggelam”. Dalam arti, kekosongan modal domestik masih bisa dipasok dari lembaga-lembaga donor di bawah koordinasi Bank Dunia. Dengan demikian, kendatipun daya negosiasi negara-capital controllers melemah, wacana ekonomi pasar belum secara total berkinerja pada tingkat global.
Kondisi global dewasa ini sangat berbeda. Dalam arti, setelah Perang Dingin usai pada 1989, intervensi nonpasar ke dalam kinerja ekonomi liberal global menyusut drastis. Jeffey Winters, dalam ”The Financial Crisis in Southeast Asia” mengatakan, Pentagon tak lagi berperan ”mengatur” distribusi modal global karena kekhawatiran ideologis telah lenyap.
Tulisan Winters yang termuat dalam Politics and Market in the Wake of the Asian Crisis (2000) bahkan menyatakan bahwa kini giliran para pemilik modal menuntut negara AS ”mundur” sebagai pengatur lalu lintas modal dunia. Perubahan struktural kekuatan politik-ekonomi global inilah yang menjelaskan mengapa kekuatan pasar kian tak terhalang dan mengapa peranan lembaga-lembaga donor di bawah koordinasi Bank Dunia tak lagi berfungsi sebagai ”pelampung” menahan tenggelamnya negara-negara berkembang dalam ”lautan” kinerja pasar global.
Perubahan struktural pada peta kekuatan ekonomi-politik global inilah yang membuat negara di Indonesia kian ”realistis”. Maka adalah aksi negara sebagai ”aktor” yang, seperti disebut di atas, berusaha ”meminjam tenaga lawan” (kekuatan pasar) untuk menyangga eksistensinya. Melalui undang-undang itu, negara bernegosiasi dengan kekuatan pasar, yaitu para pemilik modal besar tingkat global, dengan menyederhanakan prosedur hukum bagi kedatangan modal, terutama asing. Penerapan undang-undang itu memberikan kepastian hukum bagi kinerja mereka.
Secara teoretis, kepercayaan investor bukan saja akan melahirkan ”efek menetes ke bawah” melalui penyerapan tenaga kerja, melainkan peralihan pengetahuan dan teknologi serta keterampilan lebih mendalam ke anak-anak bangsa. Keberhasilan ”cepat” program ini tak bisa dilandaskan pada struktur dan sistem perundangan yang berlaku dewasa ini. Sekian dasawarsa telah kita lalui, pemindahan kapasitas teknikal untuk mandiri tak teraih dengan cepat.
Sekian dasawarsa telah kita lalui, pemindahan kapasitas teknikal untuk mandiri tak teraih dengan cepat.
Persoalannya adalah Indonesia berbeda dengan China dalam konteks politik. Jika negara di China bersifat second to no one (tak tertandingi), di Indonesia otoritas politik ini harus bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan sosial-politik dan ekonomi pada tingkat domestik.
Sistem demokrasi yang dianut telah menempatkan negara ”hanya” menjadi salah satu aktor di dalam komposisi kekuatan politik bangsa. Karena itu, ada tiga hal yang perlu diperhatikan bagi keberhasilan aksi negara ini. Dua yang pertama bersifat konseptual dan memerlukan kecerdasan politik.
Pertama, omnibus law ini bisa menjadi terobosan kreatif negara dalam memecahkan kelangkaan pasokan modal tingkat domestik. Bisa disebut omnibus law ini merupakan wahana bagi terciptanya apa yang disebut Doradjatun Kuntjara-Jakti, di disertasinya ”The Political Economy of Development” (1981), sebagai dorongan besar untuk melenyapkan hambatan raksasa pembangunan ekonomi. Ini penting karena struktur dan sistem perundangan dewasa ini hanya mampu mendatangkan modal berskala kecil.
Kedua, sistem demokrasi justru memberikan kelebihan undang-undang omnibus law dibandingkan China. Ini terutama terjadi karena walau negara pada mulanya bertindak sebagai inisiator, keberhasilan proses legislasinya merupakan kesepakatan politik kolektif pada tingkat bangsa. Karena itu, untuk membuatnya milik kolektif, keterbukaan tentang alasan konseptual dan praktikal menjadi jauh lebih penting daripada sekadar penyusunannya.
Dengan keterbukaan, bukan saja menghilangkan dugaan adanya ”penumpang gelap”, melainkan juga meningkatnya partisipasi anak-anak bangsa menjaga keberhasilannya. Maka, jika di China, omnibus law adalah milik negara, di Indonesia undang-undang itu milik bangsa.
Ketiga, pada dasarnya soliditas kekayaan negara telah terbentuk sejak akhir 1950-an dan awal 1960-an: BUMN. Dengan terbentuknya Kementerian BUMN pada 1998 di bawah Tanri Abeng, kekayaan yang telah solid itu menjadi lebih fungsional dalam menciptakan atau menambah kekayaan negara.
Sambil tetap mengakomodasi modal asing, UU omnibus law ini, hemat saya, sebaiknya memperhitungkan secara proporsional posisi BUMN. Walau merupakan kekuatan domestik, BUMN ini aktor modal yang telah tersedia. Selama lima tahun ke depan, Menteri BUMN Erick Thohir tentu telah mengetahui langkah apa yang harus diambil dalam kerangka omnibus law ini.
(Fachry Ali
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (Lspeu Indonesia))
KOMPAS, Sabtu, 07032020 Hal. 6.