OMNIBUS LAW: RUU Cipta Kerja Atasi Invetasi Mangkrak

JAKARTA, KOMPAS – Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja merupakan instrumen awal yang memberikan kepastian dan kemudahan bagi sektor usaha. Kepastian dan kemudahan itu tidak hanya bagi pengusaha besar, tetapi juga pengusaha mikro, kecil, dan menengah.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, Kamis (5/2/2020), mengemukakan, dari 79 Undang-Undang (UU) dan 1.244 pasal yang telah direvisi menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, sebanyak 700 pasal yang telah direvisi itu masuk ke ranah BKPM. Pasal-pasal itu antara lain terkait kemudahan berusaha; usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); dan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (OSS).

Omnibus law atau UU sapu jagat ini dibuat salah satunya dengan mempertimbangkan kinerja  investasi di masa lalu yang sempat diwarnai mangkraknya investasi senilai Rp 708 triliun. Investasi mangrak itu dipicu oleh regulasi yang tumpang tindih, egosektoral antara kementerian, gubernur, bupati/walikota.

“Selain itu, ada permainan hantu berdasi dan tidak berdasi. Untuk itu, tidak ada cara lain bahwa harus ada sistem yang mendukung pemerintah untuk memangkas seluruh regulasi yang menghambat investasi,” kata Bahlil dalam seminar “Omnibus Law: Terobosan Pemerintah bagi Pertumbuhan Ekonomi” di Jakarta.

Selain itu, ada permainan hantu berdasi dan tidak berdasi. Untuk itu, tidak ada cara lain bahwa harus ada sistem yang mendukung pemerintah untuk memangkas seluruh regulasi yang menghambat investasi.

Menurut Bahlil,  RUU Cipta Kerja merupakan instrumen awal yang memberikan kepastian, kemudahan, dan efisiensi bagi sektor usaha. Meski demikian,  BKPM yang menangani investasi akan selalu terbuka untuk menerima masukan dari sejumlah kalangan.

“RUU ini penting juga untuk dikoreksi oleh praktisi, pengusaha, dan aktivis. Tidak ada kesempurnaan yang hakiki dalam draf RUU itu. Inilah momentum untuk saling mengisi,” katanya.

Baca juga : Dilema RUU Cipta Kerja

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi 6 persen sesuai target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), dibutuhkan investasi sebesar Rp 1.200 triliun atau 7 persen dari total produk domestik bruto (PDB).

“Untuk mencapai target sebesar itu, dibutuhkan transformasi ekonomi secara struktural. Kalau pencapaian target itu dilakukan dengan jalur normal tanpa Omnibus law, maka transformasi itu baru bisa jalan dalam 10 tahun,” ujarnya.

Ketua Satuan Tugas Ombnibus Law RUU Cipta Kerja yang juga Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P Roeslani, meminta masyarakat tidak membenturkan RUU Cipta Kerja itu menjadi kepentingan pengusaha versus buruh. RUU itu dibuat tidak dengan maksud hanya menguntungkan satu pihak, yaitu pengusaha, atau merugikan kalangan pekerja atau buruh.

“Pengusaha dan buruh saling membutuhkan, sehingga komunikasi akan terus-menerus dibuka secara transparan dan menyeluruh untuk mendapatkan solusi bersama,” ujarnya.

Aksi mogok nasional

Sementara, kelompok buruh berencana menggelar unjuk rasa di berbagai daerah untuk menolak RUU Cipta Kerja yang substansinya dinilai mereduksi hak dan perlindungan buruh. Penolakan buruh semakin menguat setelah pemerintah dan aparat kepolisian menangkap dan menetapkan sejumlah buruh menjadi tersangka kericuhan saat aksi unjuk rasa.

Baca juga : Investasi Jangan Abaikan Kepentingan Buruh

Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan, serikat buruh dan pekerja merapatkan barisan untuk aksi penolakan RUU itu. Lintas konfederasi dan serikat buruh terus berkonsolidasi mendorong aksi yang akan berujung pada pemogokan nasional.

“Kami sedang berkonsolidasi membangun persatuan menolak RUU Cipta Kerja. Kami juga mendorong agar terjadi aks pemogokan serentak di berbagai daerah. Kami belum menentukan waktunya,” ujarnya.

Kami sedang berkonsolidasi membangun persatuan menolak RUU Cipta Kerja. Kami juga mendorong agar terjadi aks pemogokan serentak di berbagai daerah. Kami belum menentukan waktunya.

Penolakan buruh semakin menguat setelah pemerintah dan aparat kepolisian menangkap 10 orang buruh yang berunjuk rasa menolak RUU sapu jagat di Tangerang, Banten, 3 Maret 2020 yang lalu. Penangkapan dilakukan karena terjadi cekcok antara kelompok buruh yang tergabung dalam Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KEP SPSI) dengan buruh dari KASBI.

Cekcok tersebut ditengarai karena miskomunikasi di lapangan. Persoalan sebenarnya sudah diselesaikan di tempat dengan damai antara kedua pihak. “Setelah dilerai, tercapai kesepakatan damai antara negosiator massa aksi dengan pengurus KEP SPSI. Massa aksi pun melanjutkan aksi sesuai rencana. Tetapi, pasca aksi berlangsung, massa aksi yang terlibat dalam cekcok ditangkap polisi,” katanya.

Perkembangan terakhir, empat orang buruh sudah ditetapkan sebagai tersangka pengeroyokan saat aksi unjuk rasa.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) Indra Munaswar mengatakan, rencananya, unjuk rasa di Jakarta akan dilakukan di Gedung Parlemen pada 23 Maret 2020. Aksi itu bersamaan dengan pembukaan masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Terkait rencana untuk melakukan mogok nasional, Indra mengatakan, hal itu masih tentatif mengingat kondisi industri yang sedang lesu saat ini. “Kalau mogok nasional, perlu persiapan yang matang, karena harus menghentikan produksi di berbagai industri, jadi hal ini tidak gampang,” kata Indra.

KOMPAS, 06032020 Hal. 18.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.