Pemerintah telah menyerahkan surat presiden bersama dengan draf dan naskah akademik RUU Cipta Kerja kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada 12 Februari 2020. Ketua DPR Puan Maharani menyatakan, DPR akan membahas draf itu secara terbuka. Karena merupakan RUU yang melibatkan banyak sektor, ia memperkirakan pembahasan regulasi sapu jagat (omnibus law) akan melibatkan sedikitnya tujuh komisi di DPR. Draf yang diterima DPR terdiri atas 15 bab, 174 pasal, 11 kluster, dan meliputi norma-norma yang diatur dalam 79 UU.
Hingga lebih dari dua pekan sejak surat presiden dan draf diterima, DPR belum menjadwalkan pembahasannya di rapat paripurna. Kendati demikian, draf dan naskah akademik RUU itu telah sampai di meja para pimpinan DPR. Dengan berakhirnya masa sidang kedua DPR, Kamis (27/2/2020), pembahasan omnibus law dipastikan baru dimulai pada masa sidang berikutnya, akhir Maret.
Dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum dengan tema ”Ada Penumpang Gelap Omnibus Law?” yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (26/2), di Kompas TV, sejumlah pembicara membahas pembentukan RUU Cipta Kerja. Dugaan adanya ”pembisik” dalam proses itu juga dibicarakan.
Narasumber yang hadir dalam acara itu ialah Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Arif Budimanta; Ketua Tim Satuan Tugas Omnibus Law Rosan Roeslani; Wakil Ketua MPR Arsul Sani; ekonom Faisal Basri; pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti; dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nuwawea.
Bivitri mengkritik mekanisme penyusunan RUU Cipta Kerja yang dinilai tertutup. Dengan mekanisme tertutup, keinginan Presiden menuntaskan pembahasan dalam 100 hari dipandang terlalu terburu-buru dan menyederhanakan persoalan.
”Bayangkan, RUU ini terdiri atas 1.028 halaman, 11 kluster, dan menyangkut banyak UU. Pembahasan 100 hari terburu-buru. Kita harus mengkritisi proses legislasinya, mulai dari perencanaan, penyusunan naskah, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan,” katanya.
Dari sisi buruh, KSPSI merasa tidak pernah diajak bicara mengenai substansi RUU Cipta Kerja. Padahal, RUU itu banyak mengatur ketenagakerjaan. Bahkan, sejumlah norma di RUU dianggap mereduksi jaminan kesejahteraan buruh yang diatur UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Terkait omnibus law, saya tidak pernah diundang sama sekali. Sebelumnya, saya bertemu Presiden September 2019, dan membicarakan perlunya membuat terobosan hukum untuk investasi. Saya minta dari awal buruh diajak bicara. Presiden menyetujuinya. Tetapi tiba-tiba ada satgas khusus, dan buruh tak diajak bicara soal omnibus law. Kalau KSPSI tidak diajak bicara, apalagi yang lain,” kata Andi Gani.
Rosan mengatakan, satgas hanya diberi tugas sosialisasi dan menyerap aspirasi semua pihak terkait omnibus law. Namun, anggota satgas—yang terdiri dari beberapa asosiasi bisnis, akademisi, dan ahli—tak ikut merumuskan isi RUU Cipta Kerja. Substansi RUU berasal dari usulan 31 kementerian dan lembaga yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian. Satgas mendapatkan informasi bahwa buruh akan ditangani langsung Kemenko Perekonomian dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Baca juga: ”Omnibus Law” Atur Tiga Aspek Utama Ketenagakerjaan
Namun, Rosan menegaskan, RUU itu dibuat bukan untuk satu kelompok tertentu, semisal pengusaha. Namun, RUU itu dibuat untuk semua pihak, baik pengusaha maupun buruh, dengan tujuan utama menciptakan lapangan kerja.
Arif mengatakan, karena masih RUU, terbuka bagi siapa saja untuk memberi masukan, termasuk dari kalangan buruh. Penyusunan RUU itu telah melibatkan banyak kementerian dan lembaga serta semua pemangku kepentingan (stakeholder) berupaya dilibatkan.
”Ini harus melakukan konsultasi publik luas dan saya rasa telah dilaksanakan. Soal ada yang merasa belum, itu barangkali soal intensitas,” katanya.
Presiden juga menyatakan pesan yang jelas terkait RUU Cipta Kerja. ”Jangan kesejahteraan pekerja dikurangi. Perhatikan kemudahan berusaha sehingga UMKM berkembang. Perhatikan pula kepentingan daerah, pendapatan daerah. Jangan sampai terjadi pengurangan karena sebagian kewenangan diambil pusat,” kata Arif.
Pembisik
Dari kacamata ekonomi, Faisal menilai omnibus law dengan pendekatan menarik investasi asing sebesar-besarnya tak diperlukan karena investasi yang masuk ke Indonesia tak terlalu buruk. Menurut catatannya, Indonesia menempati posisi 40-an dari 148 negara dalam hal masuknya investasi asing. Namun, problemnya terletak dari ketiadaan dampak masuknya investasi itu.
”Persoalan yang harus dipertanyakan Pak Jokowi kepada menteri-menterinya, kenapa investasi besar hasilnya sedikit?” katanya.
Penarikan investasi yang berlebihan, kata Faisal, membawa efek pada memanasnya ekonomi atau overheating yang memicu rupiah melemah serta stabilitas makroekonomi yang memburuk karena pertumbuhan yang tinggi dari barang modal dan bahan bakunya yang masih impor. Di sisi lain, investasi yang masuk ke Indonesia kebanyakan tidak berorientasi ekspor.
Faisal menyinyalir adanya ”pembisik” yang tak memberi informasi memadai soal ini kepada Presiden.
”Karena itu, segala hambatan investasi yang dikeluhkan dunia usaha, kan, (jadinya) otoda (otonomi daerah), buruh, izin, lingkungan, dan semacamnya. Begitu pula media kalau mengkritik. Dewa itu ialah investasi. Padahal, investasi tidak ada masalah serius,” kata Faisal.
Menurut dia, investor asing tak pernah mengeluhkan hal itu. ”Jadi hampir bisa dipastikan yang mengeluh pengusaha domestik yang tambang batubaranya mau habis, yang tak ada kepastian mau diperpanjang atau tidak. Tambang batubaranya luas menyalahi UU, maka UU dilibas supaya bisa lebih bebas,” katanya.
Baca juga: Massa Buruh Sumut Tolak Omnibus Law
Menurut Faisal, kepentingan semacam itu yang disinyalir merembes ke proses drafting RUU Cipta Kerja.
”Ini bukan pemerintah yang bikin. Ini, kan, ada konsultan yang bikin. Entah siapa. Saya tidak mau sebut, tapi saya tahu ada konsultan yang membuat draf ini,” katanya.
Soal konsultan, Rosan dan Arif menyatakan tak mengetahuinya. Namun, mereka menyebutkan substansi RUU disusun berdasar usulan dari 31 kementerian dan lembaga pemerintah.
Bivitri mengingatkan agar RUU Cipta Kerja tidak menabrak ketentuan konstitusi. Adanya Pasal 170 yang memungkinkan peraturan pemerintah (PP) mengubah UU, menurut dia, menjadi salah satu norma yang tak sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan. ”Harusnya RUU ini ditarik dan disusun kembali secara partisipatif. Secara konstitusional, hal itu dimungkinkan,” katanya.
Soal penarikan kembali draf RUU, Arsul menilai hal itu tak perlu dilakukan karena DPR juga pasti akan membahas RUU itu secara mendalam. ”Yang paling penting ialah ada keterbukaan. Soal apakah bisa 100 hari selesai, itu hanya Tuhan yang tahu,” katanya.
Bagaimana menurut Anda?
KOMPAS, 28022020 Hal. 5.