Bila ditinjau dari sudut pandang permodalan, tak bisa dimungkiri perbankan Indonesia salah satu perbankan yang terkuat di antara banyak negara.
Merujuk data CEIC, rasio permodalan (capital adequacy ratio/CAR) perbankan Indonesia mencapai 23,33 persen pada Desember 2019, lebih tinggi ketimbang beberapa negara ASEAN lain seperti Thailand (19,6 persen), Malaysia (17,9 persen), Singapura (16,7 persen), dan Filipina (15,9 persen). Bahkan, di antara negara anggota G20 seperti Turki (18,4 persen), Brasil (18,0 persen), Meksiko (16,1 persen), Kanada (15,4 persen), Korea Selatan (15,4 persen), dan China (14,5 persen).
Tak hanya tinggi, modal perbankan kita juga berkualitas. Hal ini terlihat dari struktur permodalan perbankan yang didominasi modal inti (Tier 1) yaitu berupa setoran modal dan laba ditahan. Dari CAR sebesar 23,33 persen itu, rasio modal inti bank mencapai 21,77 persen atau porsinya mencapai 92,01 persen.
Pencapaian permodalan perbankan Indonesia itu sesungguhnya tak lepas dari upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku otoritas mikroprudensial dan Bank Indonesia (BI) selaku otoritas makroprudensial yang memang by design berupaya memperkuat permodalan perbankan. Desain regulasi menuntut perbankan harus menyediakan modal tinggi dan berlapis, sebagai pelajaran dari krisis keuangan Asia 1997/1998 dan krsisi keuangan global 2008/2009.
Pertama, modal wajib minimum yang harus dipelihara bank disesuaikan dengan profil risikonya (risk based capital adequacy). Dulu, regulasi hanya mewajibkan bank memiliki rasio permodalan minimum 8 persen dari aktiva tetap menurut risiko (ATMR) dan berlaku sama untuk semua bank.
Kini, rasio permodalan telah dikaitkan dengan profil risiko bank. Makin berisiko sebuah bank, makin tinggi modal yang harus disediakan. Modal ini berkisar 8-14 persen. Bank dengan profil risiko tinggi, modal yang harus dijaga tinggi, mencapai 14 persen.
Selain modal wajib tersebut, perbankan Indonesia juga diminta menyiapkan modal tambahan yang berfungsi sebagai penyangga (buffer). Modal penyangga inilah yang akan melapisi modal wajib minimum bank. Sehingga, ketika dihadapkan pada kerugian, maka kerugian itu akan menggerus modal tambahan itu lebih awal, sebelum akhirnya menyentuh modal wajib minimum itu.
Ada tiga jenis modal tambahan yang dibebankan ke perbankan: Capital Conservation Buffer (CCB) dan Capital Surcharge (CS) yang diwajibkan OJK, serta Countercyclical Buffer (CB) yang dilansir BI. CCB merupakan tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga jika terjadi kerugian pada periode krisis, dengan besaran tambahan modal 2,5 persen. Sementara tambahan modal berupa CS hanya diperuntukkan bagi bank yang ditetapkan OJK sebagai bank sistemik, dengan besaran modal berkisar 1-2,5 persen.
CB merupakan instrumen makroprudensial yang berbentuk tambahan modal untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan (excessive) yang dapat berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Tambahan modal CB dimaksudkan untuk mencegah peningkatan risiko sistemik yang berasal dari pertumbuhan kredit yang berlebihan serta menyerap kerugian yang ditimbulkannya.
Besaran CB itu ditetapkan nol hingga 2,5 persen. Penetapan CB ini bersifat dinamis dan kontersiklus. Artinya, bergantung perkembangan kondisi makroekonomi, sistem keuangan di Indonesia, dan/atau kondisi ekonomi global. Saat ini CB masih ditetapkan 0 persen dengan pertimbangan pertumbuhan kredit yang masih belum kuat.
Grafik pergerakan kredit dan dana pihak ketiga (dpk) perbankan, serta perbandingan segmentasi kredit triwulan IV-2019 berbanding triwulan III-2019.
Penguatan modal
Meskipun modal perbankan sudah tinggi, bila ditelisik lebih lanjut diketahui adanya jurang (gap) cukup dalam antarbank. Masih cukup banyak bank dengan modal inti rendah, kurang dari Rp1 triliun, namun di sisi lain ada bank dengan modal inti hampir Rp 190 triliun. Berdasarkan data perbankan Desember 2019, modal inti paling rendah Rp 158,05 miliar, sedangkan paling tinggi Rp 187,96 triliun.
Maka itu, kuat alasan bagi OJK untuk meluncurkan ketentuan yang mewajibkan bank menambah modal inti menjadi minimal Rp 3 triliun. Pemenuhan modal inti itu dapat dilakukan secara bertahap selama tiga tahun mulai 2020 menjadi minimum Rp 1 triliun. Kemudian pada 2021 meningkat menjadi Rp 2 triliun, dan minimum Rp 3 triliun pada 2022.
Tentu penambahan modal inti ini berdampak pada banyak bank, terutama bank dalam kelompok BUKU 1 (modal inti kurang dari Rp 1 triliun) dan BUKU 2 (modal inti dari Rp1 triliun hingga Rp 5 triliun). Sebagai gambaran, saat ini saja setidaknya ada sekitar 57 bank yang modal intinya kurang dari Rp 3 triliun atau separuh lebih dari 110 bank yang saat ini beroperasi di Indonesia.
Dari 57 bank itu, 18 adalah BPD. Tentu ini jadi tantangan bagi pemda untuk meningkatkan modal inti BPD di tengah keterbatasan anggaran dan kebutuhan penerimaan dividen dari BPD.
Upaya OJK untuk memperkuat modal inti perlu didukung, karena modal ada untuk menyerap kerugian, terutama kerugian tak terduga (unexpected losses). Dan tingginya modal yang ditopang modal inti akan menguatkan daya tahan perbankan Indonesia dalam menghadapi berbagai kemungkinan gejolak dan ketidakpastian.
(Ardhienus Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Bank Indonesia)