Para ibu mendadak heboh. Mereka heran saat menerima kabar bahwa negara akan mengatur peran suam-istri dalam keluarga. Padahal, sebagian besar dari mereka sudah menjalin kesepakatan tanggung jawab dengan pasangannya.
Para ibu dilanda kehebohan. Mereka heran saat menerima kabar bahwa negara akan mengatur peran suami-istri dalam keluarga. Padahal, sebagian besar dari mereka sudah menjalin kesepakatan tanggung jawab dengan pasangannya secara sukarela.
Fauzia Yuniar (39) terlibat perbincangan tidak biasa dengan ibu-ibu lain di halaman Sekolah dasar Negeri 06 Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat, Kamis (20/2/2020) siang. Fauzia dengan tiga perempuan lain belum paham mengapa negara mau-maunya mencapuri urusan rumah tangga.
Ibu dua anak itu khawatir Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang ia bicarakan itu tidak efektif diterapkan. Dia menganggap aturan ini terlalu mengurusi urusan pribadi dalam hubungan keluarga.
Baca juga: Para Istri Bersuara di Tengah Kontroversi RUU Ketahanan Keluarga
Pasal 25, misalnya, menjelaskan kewajiban suami dan istri dalam keluarga. Jika mencermati ayat ketiga pasal ini, istri disebut memiliki kewajiban untuk mengatur urusan rumah tangga, menjaga keutuhan keluarga, serta memenuhi hak suami dan anak sesuai dengan norma agama, etika sosial, dan ketentuan perundang-undangan.
”Selama ini saya dan suami luwes saja dalam mengerjakan berbagai urusan rumah tangga. Kalau saya lagi enggak bisa, suami rela mengerjakan pekerjaan di rumah,” tutur Fauzia.
Pada hari kerja, Fauzia memang lebih banyak menjaga anak dan mengurus rumah. Namun, dia melakukan ini bukan karena diatur negara, melainkan karena kesepakatan sukarela dengan suaminya yang bekerja kantoran. Pada hari Sabtu, suami menggantikan dirinya untuk menjemput anak sepulang dari ekstrakurikuler sekolah.
Pembenaran
Dwi Lilis (52), warga Kelurahan Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, khawatir RUU ini menjadi pembenaran suami saat meninggalkan pekerjaan rumah tangga. Selama ini, dia terbiasa berbagi tugas dengan suaminya. ”Jangan-jangan, nanti suami malah bawa undang-undang saat menyuruh istri beresin rumah. Seram juga kalau itu terjadi,” kata Dwi.
Baca juga: Urusan Istri Tak Hanya Dapur, Sumur, dan Kasur
Di tempat lain, sebagian istri justru lebih banyak bekerja di luar rumah, seperti yang dilakukan Sri Lestari (43). Sejak menikah, suaminya lebih banyak mengurus rumah, sedangkan dirinya bekerja penuh waktu. Hal itu terjadi karena ada kesepakatan di antara mereka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan. ”Tidak bisa (kewajiban suami-istri) diatur negara, setiap keluarga punya pertimbangan sendiri. Memangnya negara yang bantu pekerjaan rumah tangga?” ujar Sri.
Sehari-hari suaminya lebih banyak mengurus anak-anak, mulai dari menyiapkan bekal, mengantar ke tempat les, menemani mengerjakan tugas sekolah, hingga mengantar ke dokter.
Pasal 25 RUU Ketahanan Keluarga menjadi pasal yang paling banyak dibicarakan publik. Ada sejumlah pasal lain yang dianggap kontroversi bagi sebagian warga. Namun, RUU yang diusulkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat lintas fraksi ini masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020.
Alih-alih melindungi, RUU ini dinilai mendiskriminasi suatu kelompok masyarakat. Pasal 50 Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga menyatakan, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender) adalah propaganda yang ”mengancam” ketahanan keluarga secara nonfisik.
Baca juga: Keperluan Rumah Tangga Bukan Hanya Tanggungan Suami
Pakar neurosains dr Ryu Hasan berpendapat, segala bentuk orientasi seksual bukan merupakan gangguan kejiwaan. Hal ini tercantum pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III yang berlaku di Indonesia. ”Orientasi seksual bukan masalah. Yang berpotensi menimbulkan masalah adalah aktivitas seksual. Sepanjang yang bersangkutan punya pemahaman akan kesehatan seksual, orientasi seksual apa pun tidak menjadi masalah,” kata Ryu.
Hal ini diperkuat dengan ketetapan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 17 Mei 1990 di Pertemuan Kesehatan Dunia (World Health Assembly) ke-43. Pada forum itu, status homoseksualitas sebagai gangguan jiwa juga dicabut oleh American Psychiatric Association Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders pada 1973.
Diskriminatif
Kecaman munculnya rancangan aturan ini juga datang dari Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati. Dia menganggap RUU ini problematik karena negara mencampuri ranah privat warganya. ”Bagi saya, ada upaya untuk mengimplementasikan moralitas suatu kelompok menjadi moralitas negara,” katanya.
Pendapat serupa disampaikan komisioner Komisi Nasional Perempuan, Siti Aminah Tardi. Menurut dia, regulasi seharusnya dibuat dengan melibatkan warga negara. Menyusun regulasi pun perlu mempertimbangkan hak warga. ”Pendekatannya harus berdasarkan hak warga, termasuk yang memiliki orientasi seksual minoritas,” kata Siti.
Baca juga: Orientasi Seksual Bukan Ancaman, RUU Ketahanan Keluarga Berpotensi Diskriminatif
Lantaran menjadi pomelik, sejumlah fraksi menarik dukungan dalam pembahasan rancangan regulasi itu. Anggota Fraksi Golkar, Tb Ace Hasan Syadzily, mengatakan, fraksinya belum atau tidak pernah mengusulkan secara resmi RUU Ketahanan Keluarga. Meski salah satu anggota Fraksi Golkar mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga, usulan itu sifatnya pribadi, bukan merupakan usulan fraksi.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pembahasan RUU ini tergantung dari sikap setiap fraksi di DPR. ”Fraksi yang akan menentukan apakah usulan itu bisa dilanjutkan atau tidak,” ujar politisi Partai Gerindra ini.
Psikolog Tika Bisono berpendapat, RUU Ketahanan Keluarga berpotensi memberi beban lebih berat kepada istri di rumah. RUU juga seakan tidak berpihak kepada perempuan yang bekerja sebab tidak ada poin pasal yang menjelaskan secara spesifik seorang istri boleh bekerja.
Dalam kehidupan masyarakat urban, peran suami dan istri saat ini lebih fleksibel. Asal bisa saling mengisi, hal ini dinilai sah-sah saja. Pada kondisi seperti ini, bisakah negara masuk ke dalamnya ? (DAN/ERK/FRD/REK/NTA/SON)
KOMPAS, 21022020 Halaman 1.