JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat menuai pro dan kontra. Pengusaha menginginkan kemudahan dalam berusaha dan berinvestasi untuk menciptakan lapangan kerja, sedangkan para buruh meminta hak-hak dan perlindungan hukum diakomodasi dalam regulasi sapu jagat (omnibus law) itu.
Pemerintah dan DPR berkomitmen akan membahas RUU itu secara terbuka dan menjaring segala masukan dari publik. Pemerintah menargetkan RUU Cipta Kerja itu selesai pada pertengahan Mei 2020.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Jumat (14/2/2020), mengatakan, pemerintah mengharapkan partisipasi dan masukan dari publik atas RUU Cipta Kerja dalam pembahasannya nanti.
”Dalam waktu dekat, kami juga akan menyosialisasikannya di 46 daerah di seluruh Indonesia,” kata Airlangga seusai menghadiri acara penganugerahan doktor kehormatan (honoris causa) Ketua DPR Puan Maharani di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
Bagi pemerintah, lanjut Airlangga, RUU Cipta Kerja merupakan pembuka jalan bagi transformasi struktural ekonomi Indonesia. RUU ini menandai transformasi ekonomi ketiga di Indonesia setelah era Presiden Soeharto dan Soekarno.
RUU Cipta Kerja merupakan pembuka jalan bagi transformasi struktural ekonomi Indonesia. RUU ini menandai transformasi ekonomi ketiga di Indonesia setelah era Presiden Soeharto dan Soekarno.
Baca juga : Pengusaha Optimistis UU Cipta Kerja Tingkatkan Serapan Tenaga Kerja
Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin juga memastikan pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR akan dilakukan secara terbuka. Saat ini RUU dan surat presiden masih dalam tahap registrasi atau penomoran di Sekretariat Jenderal DPR.
Setelah dibawa ke rapat pimpinan, DPR akan mengumumkan kepada publik secara terbuka. ”Posisi DPR ialah menyinergikan antara kepentingan pemerintah dan kelompok masyarakat lain, termasuk buruh. Dalam pembahasannya di DPR, kami juga akan mendengarkan masukan dari semua pihak,” katanya.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDI-P) Bambang Wuryanto mengemukakan, PDI-P berkomitmen memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebagai fraksi terbesar di DPR, PDI-P akan mendengarkan semua masukan dari publik dan pihak yang terdampak RUU Cipta Kerja.
UU itu produk kesepakatan sehingga semua itu harus dibicarakan. Selain bernegosiasi dengan pemerintah, publik juga dapat memberi masukan melalui rapat dengar pendapat umum.
”Dalam penyusunan daftar inventaris masalah, kami akan menguliti satu per satu pasal, dan memperbaiki hal-hal yang dinilai belum tepat dari usulan pemerintah,” katanya.
Dalam penyusunan daftar inventaris masalah, kami akan menguliti satu per satu pasal, dan memperbaiki hal-hal yang dinilai belum tepat dari usulan pemerintah.
Seimbangkan kepentingan
Sebelumnya, buruh menentang keras dan menolak RUU Cipta Kerja. Mereka menilai penyusunan RUU itu tidak melibatkan buruh.
RUU itu juga menghapus beberapa pasal perlindungan buruh yang sebelumnya ada di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Beberapa pasal yang dihapus itu antara lain Pasal 169 Ayat (2) dan Pasal 172. Selama ini, kedua pasal itu memberi perlindungan finansial dan hukum terhadap pekerja yang diputus hubungan kerja (PHK) atau ingin mengajukan PHK.
Baca juga : Jaga Daya Tawar Buruh
Oleh karena itu, buruh dan sejumlah kalangan khawatir regulasi yang disusun pemerintah itu tidak dapat memenuhi cita-cita awal untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Daya beli buruh yang direduksi dalam RUU Cipta Kerja justru akan menurunkan konsumsi rumah tangga sebagai faktor yang paling menentukan laju perekonomian nasional.
Pertumbuhan investasi yang tidak diiringi peningkatan kesejahteraan pekerja justru dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan investasi yang tidak diiringi peningkatan kesejahteraan pekerja justru dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Baca juga : Jaga Konsumsi agar Tak Melemah
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, cita-cita awal RUU Cipta Kerja untuk menjawab tumpang tindih regulasi yang menghambat investasi sebenarnya sudah benar. Namun, substansi RUU itu tidak seimbang dengan tujuan pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai.
RUU Cipta Kerja memuat banyak pasal yang mengorbankan hak-hak buruh. Di satu sisi, daya tawar buruh yang rendah memang bisa meningkatkan investasi dari segi kuantitas. Namun, pertumbuhan investasi tidak bisa dilihat semata-mata dari kuantitas, tetapi juga kualitas.
Untuk benar-benar berdampak signifikan terhadap laju perekonomian nasional, investasi yang masuk harus menghasilkan dampak pengganda. Pertama, investasi menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan pekerja. Kedua, akan mendorong laju konsumsi rumah tangga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
”Dengan klausul di RUU yang tidak seimbang ini, bisa jadi memang banyak investor mau masuk karena tergiur nilai tawar buruh Indonesia yang rendah. Namun, akhirnya, kita hanya punya investasi banyak, lapangan kerja banyak, tetapi kualitasnya rendah. Lantas, kalau begitu, apa dampaknya terhadap pertumbuhan industri dalam negeri?” tutur Faisal.
Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro mengatakan, pemerintah harus mencari titik keseimbangan persoalan ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja.
”Perlu kecermatan membuat peraturan ketenagakerjaan karena sangat ruwet. Jika kepentingan pengusaha tidak diakomodasi, tidak akan ada investasi. Di sisi lain, kepentingan buruh terkait upah akan memengaruhi konsumsi,” ujarnya.
Jika kepentingan pengusaha tidak diakomodasi, tidak akan ada investasi. Di sisi lain, kepentingan buruh terkait upah akan memengaruhi konsumsi.
Baca juga: Iklim Investasi Terjaga
Ari menambahkan, pengusaha menganggap permasalahan pesangon memberatkan. Mereka tidak akan berinvestasi di Indonesia jika aturan ketenagakerjaan tidak memberikan kepastian kendati tenaga kerja domestik dinilai berkualitas. Oleh karena itu, sebaiknya aturan ketenagakerjaan dibahas tersendiri, jangan dikaitkan dengan aturan lain, seperti perizinan dan perpajakan.
Di sisi lain, pemerintah juga harus mempertimbangkan dampak konsumsi buruh terhadap perekonomian. Kebijakan upah minimun dan uang pesangon akan berdampak terhadap daya beli.
”Ada lingkaran pendapatan yang harus dipertimbangkan pemerintah saat menyusun aturan ketenagakerjaan,” kata Ari.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menambahkan, jika ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, daya beli pekerja seharusnya ditingkatkan agar konsumsi rumah tangga meningkat. Namun, draf RUU Cipta Kerja justru mau mereduksi upah minimum dan pesangon pekerja, yang akan sangat berdampak pada daya beli buruh.
Sementara Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) berkomitmen memuluskan implementasi UU Cipta Kerja. Ketua Adeksi Armuji menyatakan, dalam waktu dekat, Adeksi akan memetakan peraturan daerah yang tidak relevan sekaligus merencanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk menyiapkan sinkronisasi.
”Ya, otomatis kita harus mengikuti karena kebijakan pusat itu ialah suatu kebijakan yang harus diimplementasikan di daerah-daerah,” katanya. (FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA/NIKOLAUS HARBOWO)
KOMPAS, 15022020 Hal. 1.