JAKARTA, KOMPAS – Hakim konstitusi pada sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi, Senin (3/2/2020) di Jakarta, terhadap enam permohonan pengujian formal dan material Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, mempertanyakan sejumlah masalah, di antaranya syarat formal saat pembahasan Rancangan UU KPK.
Syarat formal yang ditanyakan di antaranya mulai dari risalah rapat pembahasan RUU No 19/2019, naskah akademik, bukti tanda tangan, dan rekaman persidangan ketika pembahasan RUU KPK tersebut.
Hakim Konstitusi Saldi Isra di antaranya menanyakan kepada Arteria Dahlan, anggota DPR Komisi III yang mewakili DPR pada sidang lanjutan di MK itu, tentang risalah pembahasan RUU KPK yang pernah dijanjikan pada sidang sebelumnya. Saldi juga meminta bukti naskah akademik, bukti tanda tangan, dan rekaman persidangan.
Bahkan, Saldi juga mengatakan MK meminta tolok ukur (benchmark) negara lain yang memiliki Dewan Pengawas KPK sebagaimana dikonstruksikan dalam UU KPK. Hal lain yang diminta Saldi kepada wakil DPR adalah perkembangan revisi UU KPK yang disebutkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Saat meminta, Saldi menyatakan bahwa fokus MK adalah hal-hal terkait dengan persetujuan bersama, pengesahan, dan pengundangan di pemerintah saat pembahasan RUU KPK tersebut.
“Hal lain yang diminta Saldi kepada wakil DPR adalah perkembangan revisi UU KPK yang disebutkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)”
Hakim konstitusi lainnya, Wahiduddin Adams, misalnya juga menanyakan tentang berapa lama pembahasan RUU KPK dilakukan sejak rapat kerja pertama sampai pembahasan tingkat satu. Termasuk di dalamnya catatan mengenai perbedaan pendapat dalam proses tersebut dan apakah ada partisipasi masyarakat di dalamnya ikut dalam pembahasan RUU KPK.
Wahiduddin kemudian menanyakan tentang daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah menyusul DPR sebagai inisiator pembentukan UU KPK hasil revisi tersebut. Pertanyaannya juga termasuk dari kementerian dan lembaga mana saja DIM RUU KPK itu berasal dan berapa lama disiapkan. Pertanyaan mengenai apakah KPK dilibatkan dalam proses penyusunan RUU tersebut juga kembali ditanyakan.
Pada bagian ini, Wahiduddin mengajukan pertanyaan yang menggelitik tentang maksud dan makna dari tidak ditandatanganinya UU No 19/2019 tentang KPK oleh Presiden Joko Widodo. Ia mengatakan hal itu menimbulkan banyak pertanyaan dan dengan demikian ia mempertanyakan bagaimana pemerintah menjelaskan hal itu terkait tidak ditandatanganinya UU revisi KPK tersebut.
Wahiduddin mengatakan hal itu sekalipun pada 2001-2004 ada empat undang-undang yang juga belum ditandatangani. Namun, setelah tahun 2004 hingga 2019, baru ada UU No 19/2019 yang tidak ditandatangani oleh Presiden RI.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo menanyakan tentang keberadaan Dewan Pengawas KPK yang menurut dia berada di atas komisioner dan pegawai KPK. Pada kesempatan itu Suhartoyo juga menanyakan apakah benar pendapat pemerintah yang menyatakan dewan pengawas punya kedudukan sama sebagaimana fungsi tindakan pemerintah.
Menanggapi sejumlah pertanyaan, Arteria mengatakan pihaknya sudah mengirimkan risalah rapat pembahasan RUU KPK terkait. Demikian pula laporan dalam bentuk video, laporan panitia angket, dan kronologis, serta daftar hadir peserta rapat. Akan tetapi, Saldi kembali menunjukkan bahwa daftar hadir yang dimaksud belum ditandatangani.
Sementara dalam menanggapi Suhartoyo, Arteria mengatakan bahwa pendapat hakim konstitusi itu menjadi masukan bagi pihaknya. Ia mengatakan bahwa dewan pengawas bersifat nonstruktural. Terdapat irisan dalam prosesnya, tetapi hal itu disebutkan tidak menegasikan pimpinan KPK.
“Suhartoyo kembali mengingatkan Arteria tentang posisi dewan pengawas di Pasal 21 UU KPK. Upaya mengingatkan itu karena dua kali pertanyaan Suhartoyo dengan nada tinggi meminta Arteria membaca pasal tersebut”
Namun, Suhartoyo kembali mengingatkan Arteria tentang posisi dewan pengawas di Pasal 21 UU KPK. Upaya mengingatkan itu karena dua kali pertanyaan Suhartoyo dengan nada tinggi meminta Arteria membaca pasal tersebut. Hal itu karena Arteria berkukuh dengan pendapatnya. Suhartoyo meminta teks Pasal 21 UU KPK itu diberikan penjelasan.
Pertanyaan tak direspons
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari yang juga kuasa hukum pemohon salah satu perkara, yaitu perkara nomor 79/PUU-XVII/2019, menanyakan dibiarkannya sejumlah pertanyaan anggota majelis hakim konstitusi yang tak direspons oleh termohon.
Padahal, tambah Feri, jawaban terbuka mestinya dibiarkan daripada sekadar perbaikan keterangan tertulis. Sebagian di antara pertanyaan yang tak dijawab adalah proses pembahasan RUU di tingkat pertama dan pelibatan publik. Ia menyebutkan tak taat asasnya prosedur pemerintah dan DPR saat membentuk UU KPK.
KOMPAS, 04022020 Hal. 3.