BEGINI MEKANISME OMNIBUS LAW GANTIKAN UNDANG-UNDANG LAMA

JAKARTA, KOMPAS.com – Empat rancangan undang-undang (RUU) sapu jagat atau Omnibus Law yang diusulkan pemerintah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Keempatnya, yaitu RUU tentang Ibu Kota Negara, RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, serta RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Meski telah masuk daftar, tetapi pemerintah belum menyerahkan naskah akademik ataupun draf RUU tersebut. Sejauh ini, baru Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang akan diserahkan naskah akademik dan drafnya ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (3/1/2020) mendatang.

Lantas, bagaimana nantinya RUU tersebut akan menggantikan UU yang sudah berlaku? Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan, secara teknis tidak ada persoalan dengan keberadaan Omnibus Law tersebut. Sebab, nantinya UU baru akan merevisi sekaligus UU lain yang ada. Sebagai contoh, RUU Cipta Lapangan Kerja nantinya akan merevisi 83 UU yang kini telah berlaku. Apabila satu per satu UU tersebut direvisi, maka akan memakan waktu bertahun-tahun. Lain halnya jika dibuat sebuah UU baru yang isinya menggabungkan UU lainnya.

Draf RUU Cipta Lapangan Kerja yang akan diserahkan ke DPR nantinya berisi rangkuman 2.517 pasal yang saling berbenturan di dalam 83 UU itu. “Nah, teknisnya enggak masalah, sudah biasa kok kita. Dengan berlakunya UU ini, maka UU sekian nomor dicabut, pasal sekian dicabut,” kata Mahfud di Menara Kompas, Palmerah, Jakarta Pusat, Kamis (30/1/2020). “Sebenarnya ini kan sering sekali. Tapi dulu kecil-kecilan, sekarang besar-besaran,” lanjut dia.  Meski dari sisi mekanisme tak ada persoalan, potensi masalah masih dapat muncul, terutama dalam hal substansi. Sebab, masih banyak orang yang belum memahami secara utuh RUU ini. Celah itu yang kemudian digunakan oleh sejumlah pihak untuk menggagalkan RUU ini.

Ia mencontohkan, beberapa waktu lalu sempat dikabarkan bahwa RUU ini akan memuat pasal yang dapat memungkinkan seorang menteri dalam negeri dapat memecat kepala daerah. Mendagri Tito Karnavian, imbuh dia, pernah menyinggung hal itu lantaran memang diatur mekanismenya di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam UU itu disebutkan bahwa gubernur yang secara akumulatif tidak masuk kerja selama 30 hari dalam setahun dapat dijatuhi sanksi. “Itu ada aturannya. Tetapi, orang menyangka itu bagian di dalam Omnibus Law, padahal di dalam Omnibus Law itu tidak ada mengatur begitu,” ujar dia.

Sumber: Kompas.com. Jumat, 31 Januari 2020.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.