KERJA SAMA EKONOMI: Perlu Transparansi demi Efektivitas Pendanaan Campuran

KOMPAS – Aspek transparansi mutlak diperlukan untuk memonitor dan mengevaluasi efektivitas pelaksanaan proyek pembangunan yang dibiayai dengan pola blended finance (pendanaan campuran). Selain transparansi, faktor kedua yang tak kalah penting adalah penguatan semangat kolaborasi dan berbagi pengetahuan serta pengalaman, dari mereka yang sudah menjalankan pendanaan campuran.

Hal tersebut disampaikan Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI Wimboh Santoso, dalam Konferensi “Pendanaan Swasta untuk Pembangunan Berkelanjutan”, yang diselenggarakan Organisasi untuk Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi (OECD) di Paris, Perancis, Selasa (28/1/2020).

Wimboh memaparkan sambutan pembuka dalam forum yang dihadiri Head of Division and Senior Counsellor OECD Haje Schuete, serta puluhan perwakilan OECD, Forum Tri Hita Karana, organisasi ekonomi internasional, dan kalangan filantropis.

Menurut Wimboh, pemerintah Indonesia meyakini bahwa menyelaraskan kerangka dan standar pendanaan campuran, dan mewajibkan lembaga-lembaga terkait mempublikasikan data tentang kemajuan proyek, akan membantu proses analisis proyek-proyek potensial di masa depan.

“Ini semua faktor-faktor krusial untuk mendongkrak transparansi di pasar, sekaligus menjamin bahwa ekses-ekses yang muncul, sejalan dengan tujuan pembangunan, dan harapan para investor. Dengan menyelaraskan standar-standar dan menyediakan sistem peringkat yang kredibel, kami berharap praktik-praktik ini secara luas diterima, dan ke depannya makin banyak proyek didanai blended finance,” kata Wimboh lagi.

Terkait faktor kedua yakni semangat kolaborasi, ia mengungkapkan, kolaborasi di dalam dan di luar kawasan regional, misalnya berupa asistensi teknis dan masukan, terbukti menjadi sarana yang mujarab bagi Indonesia dalam pendanaan campuran. “Seharusnya itu distandarisasi untuk menyiapkan formula serupa ke berbagai negara yang membutuhkan,” tambahnya.

Proyek di Indonesia

Dalam kesempatan itu ia mencontohkan pelaksanaan blended finance di Indonesia, yang sejauh ini dirasa cukup berhasil, yakni kerja sama Pemerintah RI dengan investor swasta dalam mendanai proyek SDG 14, yakni kehidupan di bawah laut di Papua Barat, serta Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Proyek ini diproyeksikan bernilai 50 juta dollar AS (sekitar Rp 680 miliar), dengan pemerintah menghibahkan dana 2 juta dollar AS, dan dukungan 6-10 juta dollar AS dari donatur/dermawan.

Proyek ini, lanjut Wimboh, meliputi pembangunan beberapa infrastruktur kelautan, termasuk di dalamnya pelabuhan, cold storage dan galangan reparasi. “MoU antara pemerintah dan PT Sarana Multi INfrastruktur telah ditandatangani untuk menunjukkan komitmen kuat dari para pihak yang terlibat. Selain, kami mengundang pihak-pihak lain untuk ikut bekerja sama dalam inisiatif ini, guna menjadi laboratorium implementasi blended finance di bidang ekonomi kelautan,” ujar dia lagi.

Haje Schuete mengapresiasi upaya pemerintah RI untuk berbagi pengalaman terkait pendanaan campuran dalam forum OECD. “Saya sangat mengapresiasi komitmen pemerintah Indonesia dalam event ini. Pengalaman yang telah dibagikan Indonesia melalui presentasi Saudara Wimboh, sangat bermanfaat bagi pengembangan blended finance, sehingga tepat rasanya Indonesia mengambil peran strategis dalam forum ini,” kata dia.

Schuete menambahkan, kepeloporan Indonesia sangat krusial dalam pengembangan pendanaan campuran. “Informasi soal komitmen politik pemerintah Indonesia dalam blended finance, dan urusan pendanaan yang menjadi ranah investor swasta, memberi pemahaman yang komplet bagi peserta, tentang apa yang telah dilakukan Indonesia. Tentu saja ini sangat bermanfaat, tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi negara-negara lainnya,” ujar Schuete.

Dalam presentasinya, Schuete menjelaskan, tercatat dana 2,4 miliar dollar AS (setara Rp 32,7 triliun) dari OECD, dikucurkan per tahun untuk mendanai pembangunan negara-negara berkembang, dengan 10 daftar utama mayoritas dari Afrika dan Asia. Negara-negara berkembang itu meliputi Uganda (menerima 310 juta dollar AS), Myanmar (284 juta dollar AS), Benin (231), Mauritania (168), Bangladesh (130), Kamboja (128), Zambia (127), Togo (124), Guinea (116) dan Senegal menerima 87 juta dollar AS. (Adi Prinantyo dari Paris, Perancis).

 

Sumber: Kompas. Rabu, 29 Januari 2020.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.