Sesuai penjelasan Menteri Hukum dan HAM, Januari 2020 ini draf omnibus law (OL) akan selesai dan diserahkan ke DPR. Dalam tiga bulan terakhir ada banyak pertemuan lintas lembaga, departemen, untuk merumuskan draf OL, tetapi tidak ada dokumen resmi yang beredar di publik sebagai bahan kajian.
Tampaknya pemerintah memilih membuat draf final dulu baru disosialisasikan ketimbang meluncurkannya ke publik secara parsial yang berisiko disalahartikan dan dipolitisasi.
Kalangan serikat buruh sejauh ini bereaksi dalam dua blok besar. Ada kelompok yang sejak awal langsung menolak ide OL dan kelompok yang bersikap lebih terbuka dengan meminta agar dilibatkan dalam perumusannya.
Kelompok pertama adalah blok serikat buruh yang kerap memilih resisten terhadap segala jenis rancangan perubahan UU Ketenagakerjaan yang menyentuh pengurangan pesangon dan eskalasi pekerja alih daya (outsourcing) sekalipun posisi seperti itu tidak sepenuhnya menolong buruh hidup lebih sejahtera.
Mereka tak bisa menjawab pertanyaan, apakah buruh sungguh-sungguh menerima besaran pesangon seperti tertulis di UU No 13 Tahun 2003 atau dinikmati segelintir orang saja? Data-data dari Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebaiknya dipaparkan untuk mendelegitimasi penolakan ini.
Hampir keseluruhan konflik hubungan industrial soal besaran pesangon berakhir dengan perundingan di luar ketentuan UU. Jadi UU itu hanya bagus di atas kertas, tapi dalam realitasnya tidak bisa diimplementasikan.
Hampir keseluruhan konflik hubungan industrial soal besaran pesangon berakhir dengan perundingan di luar ketentuan UU.
Salah satu sebab terbesarnya adalah karena tak semua perusahaan sejak awal mencadangkan dana pesangon pekerja dalam keuangannya. Jadi bila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), perusahaan akan menyelesaikannya sesuai dana yang kebetulan tersedia.
Pada perkara PHK individual, dana perusahaan biasanya tersedia. Namun, bila terjadi PHK massal, perusahaan akan lebih memilih berperkara di PHI atau berunding, yang dalam banyak kasus selalu merugikan buruh. Bahkan, ada perusahaan yang pilih kabur ketimbang membayar pesangon.
Atas masalah itu, ada desakan, kenapa cadangan pesangon pekerja tidak disisihkan sejak awal untuk menghindari situasi di atas?
Kalangan pengusaha menjawab, ketentuan itu tak diatur dalam regulasi, dan kalaupun ada dananya, nanti akan berakibat pada naiknya porsi ongkos tenaga kerja (labor cost) yang sangat tinggi karena harus menambahkan 10-13 persen lagi untuk cadangan pesangon tersebut.
Ini akan mengurangi keunggulan kompetitif bisnis Indonesia, mengurangi minat investasi langsung asing (FDI), dan membunuh potensi pertumbuhan usaha bisnis baru, khususnya usaha kecil mikro dan UKM.
Lagi pula, sistem pesangon tinggi versi Indonesia ini tak ada di negara lain, khususnya kawasan ASEAN, mengapa pula harus dipertahankan. Yang lazim dibuat tinggi adalah besaran jaminan sosial (bukan pesangon).
Misalnya, Indonesia saat ini memberikan besaran jaminan sosial ke pekerja 14 persen per bulan, sementara Vietnam, Singapura, Malaysia, China, dan Thailand mampu memberikan 22-27 persen per bulan.
Jadi bila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), perusahaan akan menyelesaikannya sesuai dana yang kebetulan tersedia.
Selain itu, kepada ekspatriat, negara ini memiliki tunjangan pengangguran. Mengapa tidak ide ini yang dimajukan dalam OL ketimbang langsung menolak munculnya sebuah perubahan.
Jebakan gerakan populisme
Mengapa gagasan perubahan perundangan seperti OL dicurigai dan ditolak? Padahal, selama ini sudah banyak keluhan terhadap berbagai aturan yang tumpang tindih, tidak efisien, dan saling bertentangan.
Sebagai aktivis perburuhan selama puluhan tahun, penulis melihat situasi tersebut terjadi sebagai sisa trauma panjang saat Orde Baru, yang dulu sering melahirkan kebijakan yang selalu menguntungkan kaum pengusaha. Segala jenis proyek efisiensi dan debirokratisasi hanya untuk kenyamanan berbisnis, tapi tidak membuat nasib buruh berubah.
Jadi, resistensi dini terhadap perubahan UU selalu dianggap bentuk perlawanan yang paling heroik sebagai penanda organisasi paling militan. Aksi dalam bentuk analisis, berunding mengajukan opsi, lobi, dan mobilisasi opini dianggap kurang greget, prosesnya lama, tak menarik untuk liputan media, dan tidak bisa memicu emosi buruh turun ke jalan.
Akibat dari pola opini publik yang selalu dikuasai oleh kelompok “pejuang jalanan” ini, sering kali info yang sampai ke publik jadi bias dan parsial.
Maka, yang tampak hanya pasal-pasal buruk, opini yang salah tetapi dibungkus dengan narasi populer, politicking. Sebaliknya, organisasi yang mencoba melakukan analisis, memberikan alternatif, dianggap sebagai perlawanan lembek, kompromis, dikooptasi penguasa dan pengusaha.
Segala jenis proyek efisiensi dan debirokratisasi hanya untuk kenyamanan berbisnis, tapi tidak membuat nasib buruh berubah.
Kontroversi laporan Bank Dunia
Bila ditilik ke belakang, ide terhadap perlunya OL dipicu oleh ambisi pemerintah untuk memperbaiki ranking Indonesia dalam kemudahan berusaha versi Bank Dunia (Doing Business Report). Presiden Jokowi ingin membuat Indonesia lebih menarik untuk investor asing (FDI). Tahun 2020 ini Bank Dunia menempatkan Indonesia di urutan ke-73 dari 180 negara.
Masih jauh dari harapan Presiden Jokowi agar Indonesia bisa di ranking ke-40. Sebelum Presiden Jokowi memimpin Indonesia, ranking masih ke-106, tahun 2016 berubah jadi urutan ke-91. Sayangnya, tahun ini kembali menurun dari ke-72 ke-73.
Seperti diketahui, ada 12 area regulasi yang menjadi indikator Bank Dunia, di antaranya regulasi memulai bisnis, perizinan konstruksi, listrik, registrasi kepemilikan, perkreditan, pajak, dan ketenagakerjaan. Dua area terakhir adalah indikator yang paling banyak dikritik serikat buruh.
Menurut mereka, indikator Bank Dunia melakukan kesalahan setidaknya untuk dua hal berikut. Pertama, efisiensi labor cost membahayakan perlindungan buruh kalau mensyaratkan PHK bebas hambatan, menurunkan jaminan sosial.
Ini bisa memicu ketimpangan pendapatan dan merusak agenda penciptaan pekerjaan layak, sebagaimana sudah dirumuskan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Ini tak boleh diturunkan dengan proyek efisiensi Bank Dunia.
Bahkan, indikator Bank Dunia disebut sebagai ancaman ke ekonomi global karena telah menyeret negara berkompetisi menuju keterpurukan (race to the bottom). Semua didorong berlomba menghapus hambatan regulasi, tanpa memperhitungkan akibatnya ke kesejahteraan buruh dan degradasi lingkungan.
Presiden Jokowi ingin membuat Indonesia lebih menarik untuk investor asing (FDI).
Kedua, indikator Bank Dunia membuat asumsi yang salah dengan menyarankan negara-negara menurunkan pungutan pajak agar menarik untuk pebisnis. Bagaimana mungkin negara sedang berkembang yang sedang berjuang menaikkan rasio pajak disuruh menurunkan pendapatan pajak?
Negara-negara tersebut akan kesulitan membiayai pembangunannya dan memperdalam utang luar negeri. Masalah terbesar yang dialami negara berkembang justru salah satunya akibat terlalu kecil mengenakan pajak ke perusahaan trans-nasional.
Menurunkan pajak juga berarti menurunkan kemampuan pemerintah membiayai kebutuhan publik, jaminan sosial, pendidikan, dan sebagainya. Bukankah Bank Dunia lebih baik mendorong pemerintah merancang sistem perpajakan yang menguatkan negara dalam meningkatkan perolehan pajak?
Setelah mendapat gempuran kritik dari berbagai pihak, khususnya Organisasi Buruh Internasional (ILO), Bank Dunia tidak lagi memasukkan indikator regulasi pasar kerja dalam publikasinya walau masih terus digunakan sebagai saran “best practices” untuk investasi.
Regulasi ketenagakerjaan tentu saja diperlukan, tapi sebaiknya yang mendesak direduksi adalah regulasi yang berhubungan dengan biaya birokrasi tinggi, proses waktu pengurusan izin yang lama, peraturan yang tumpang tindih, bukan hal yang berhubungan dengan penurunan manfaat yang menurunkan perlindungan buruh.
Sebagai contoh, proses memulai usaha di Indonesia masih harus melewati 11 prosedur, jauh di atas rata-rata negara di kawasan Asia Pasifik dan Asia Timur yang 6,5 prosedur.
Setelah demo besar yang dilakukan KSBSI dan konfederasi buruh lain baru-baru ini, tampaknya pemerintah mau membuka diri dengan melibatkan serikat buruh untuk merumuskan OL. Semoga dengan keterbukaan ini perumusan OL akan cepat selesai sehingga pemerintah tetap pelindung rakyat, bukan pelindung orang-orang serakah.
(Rekson Silaban, Analis Indonesia Labor Institute)
KOMPAS, 23012020 Hal. 6.