KETENAGAKERJAAN: Soal “Omnibus Law” Ketenagakerjaan, Pemerintah Akomodasi Semua Pihak

JAKARTA, KOMPAS -Pemerintah menginginkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bisa menguntungkan semua pihak, khususnya kalangan pekerja dan pengusaha. Oleh karena itu, pemerintah mengajak pekerja dan pengusaha duduk bersama untuk membicarakan regulasi yang baik untuk kedua belah pihak.

Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko di Bina Graha, Jakarta, Senin (20/1/2020), mengungkapkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja dirancang untuk memberikan kepastian, tak hanya bagi pengusaha, tetapi juga para pekerja. “Intinya omnibus law itu disusun untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, bagi semua buruh bisa memberikan kepastian, lebih memberikan kenyamanan, diterima oleh semua pihak,” ujarnya.

Kemarin, para pekerja atau buruh berunjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak RUU Cipta Lapangan Kerja. Moeldoko menyatakan, pihaknya memahami keresahan berbagai serikat buruh yang merasa belum puas dengan proses legislasi. Alasannya, para buruh belum banyak diajak bicara mengenai substansi RUU Cipta Lapangan Kerja.

Sesuai perintah Presiden Joko Widodo, pemerintah bersungguh-sungguh mendengarkan aspirasi dari semua pihak, termasuk pekerja. Hal ini karena pemerintah tengah mencoba mencari  titik keseimbangan baru bagi pekerja maupun pengusaha.

 

“Kami ingin mencari titik keseimbangan baru yang pas, baik untuk pekerja, maupun pengusaha. Proses mencari keseimbangan ini harus melalui upaya bersama, bukan satu pihak. Kedua pihak perlu memiliki semangat yang sama,” tutur Moeldoko.

Pertambangan

Sektor energi dan sumber daya alam menjadi satu dari 18 subklaster dari klaster penyederhanaan perizinan berusaha di RUU Cipta Lapangan Kerja. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan substansi yang diatur mencakup ketentuan izin dan investasi. Sisanya, isu yang melingkupi tata kelola industri secara menyeluruh tetap diatur di Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Kepala Subdirektorat Bimbingan Usaha Batu Bara Ditjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Heriyanto menyatakan, semua kementerian/lembaga diundang untuk harmonisasi materi klaster penyederhanaan perizinan usaha.

Kementerian ESDM telah menginventarisasi 13 isu untuk revisi Rancangan UU 4/2019, misalnya mendorong eksplorasi untuk penemuan deposit mineral dan batu bara, perubahan Kontrak Karya (KK)/Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) menjadi  Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), jangka waktu IUP/IUPK, serta penguatan peran badan usaha milik negara.

“Semangat RUU Cipta Lapangan Kerja adalah memberikan kemudahan, kecepatan, serta jaminan hukum atas mekanisme perizinan dan investasi. Isu seputar perubahan KK/PKP2B menjadi IUPK beserta jangka waktu tentu saja tidak masuk materi di RUU itu,” ujar Heryanto.

Direktur Eksekutif Indonesia Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi mengatakan, sektor pertambangan menyimpan berbagai isu dan persoalan, meskipun berkontribusi sekitar 13,4 persen terhadap total produk domestik bruto. Oleh karena itu, alangkah baiknya setiap pembahasan peraturan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas. Publik juga dilibatkan.

Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah kemunculan RUU Cipta Lapangan Kerja yang telah memasukkan sektor pertambangan ke dalam materi kluster penyederhanaan perizinan berusaha. “Jangan sampai pembahasan materi terburu-buru karena RUU Cipta Lapangan Kerja bersifat omnibus law. Jangan sampai muncul juga ego sektoral,” kata dia.

Baca juga: ”Omnibus Law” Atur Tiga Aspek Utama Ketenagakerjaan

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Rizal Kasli berpendapat, perkembangan sektor mineral dan batu bara akan selalu bersinggungan sektor lain. Dalam UU 4/2009 terdapat substansi yang berbenturan dengan peraturan perundang-undangan lain, seperti soal substansi hilirisasi hasil tambang.

Koordinator Publish What You Pay/Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Minerba, Maryati Abdullah berpendapat, tuntutan ke pelaku industri sektor pertambangan adalah perolehan nilai ekonomi maksimal. Jika RUU Cipta Lapangan kerja mengakomodasi urusan hulu, seperti kemudahan izin eksplorasi, pemerintah juga perlu mengatur ihwal hilir.

Maryati menggambarkan realitas tidak terkontrolnya produksi batu bara. Hasil produksi melebihi ketetapan peruntukan ekspor dan konsumsi dalam negeri. Kelebihan produksi dicurigai dipakai menyuplai secara ilegal permintaan ekspor. Praktik perdagangan itu berdampak kerugian pada negara.

KOMPAS, 21012020 Hal. 13.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.