Angka kekurangan rumah berdasarkan konsep kepemilikan sebesar 13,5 juta unit tahun 2010 atau diperkirakan sudah 15 juta unit tahun 2015 terus menjadi mantra. Terlebih, dengan kebutuhan rumah sebanyak 800.000 unit per tahun, kemampuan penyediaan rumah, baik swasta maupun pemerintah, tidak lebih dari separuhnya. Hal itu menggambarkan betapa mendesaknya persoalan merumahkan rakyat.
Ketika membahas Rancangan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (RUU Tapera) yang sudah disahkan DPR, angka-angka itu tak luput disebutkan. Apalagi, saat dikaitkan dengan isu ketimpangan. Ada warga masyarakat yang memiliki rumah lebih dari satu, sementara banyak lainnya yang tidak bisa menjangkau “papan” sebagai salah satu kebutuhan dasar karena harganya yang selangit. Memang selama ini tidak ada mekanisme yang sistematis untuk menahan kenaikan harga rumah karena nilai tanah ataupun rumah diserahkan kepada pasar. Alhasil, masyarakat kecillah yang terpinggirkan.
Di dalam konsep pembiayaan perumahan yang mendasari UU Tapera, masyarakat dibagi menjadi tiga bagian besar secara vertikal. Di tingkat paling atas, terdapat 20 persen masyarakat yang mampu membeli rumah secara mandiri. Di bagian tengah, ada 40 persen masyarakat yang mampu membeli rumah, tetapi mesti dibantu pembiayaannya melalui bantuan uang muka atau angsurannya. Yang paling bawah, terdapat 40 persen kelompok masyarakat yang sama sekali tidak bisa memiliki rumah karena kemampuan ekonominya lemah.
Fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) yang dialokasikan di dalam APBN merupakan pembiayaan pemerintah bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk membeli rumah bersubsidi. Batasannya, penghasilan mereka tak lebih dari Rp 4 juta untuk rumah tapak atau Rp 7 juta untuk rumah susun. Meski ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, skema pembiayaan tersebut baru menjangkau 40 persen masyarakat yang berada di tengah. Itu pun hanya bisa diakses oleh mereka yang berprofesi sebagai pekerja formal. Pasalnya, skema itu disalurkan melalui perbankan yang mensyaratkan si peminjam memiliki pendapatan atau memenuhi persyaratan yang dituntut bank.
Itu berarti, FLPP belum menyentuh 40 persen kelompok masyarakat paling bawah. Memang pemerintah memiliki anggaran penyediaan perumahan untuk membangun rumah khusus, seperti rumah susun sederhana sewa, atau melalui program perbaikan rumah. Namun, jumlahnya terlalu kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan yang sangat besar. Tercatat, anggaran perumahan saat ini tidak lebih dari 0,2 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Usaha merumahkan rakyat memerlukan sumber pendanaan yang murah, dalam jumlah yang besar, dan jangka panjang. Itulah tujuan dibentuknya RUU Tapera. Pekerja formal, pegawai negeri sipil, pekerja asing, dan pekerja mandiri yang penghasilannya sama atau lebih dari upah minimum dipaksa menjadi peserta. Sementara kepesertaaan pekerja informal bersifat sukarela. Namun, yang dapat memanfaatkan Tapera untuk membeli rumah adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan kata lain, Tapera dimaksudkan menyokong pendanaan bagi 40 persen kelompok masyarakat yang berada di tengah. Jika ini berhasil, anggaran yang selama ini digulirkan untuk FLPP, akan difokuskan bagi 40 persen masyarakat paling bawah yang selama ini belum tersentuh.
UU Tapera sudah dibahas cukup lama di DPR. Pada 2014 lalu, pemerintah meminta RUU tersebut ditunda karena akan membebani keuangan negara. Memang pada saat-saat akhir pembahasan RUU Tapera, pasal tentang besaran iuran kepesertaan dihapuskan dari draf RUU dan akan diatur kemudian melalui peraturan pemerintah. Hal itu dilakukan sebagai kompromi dengan pelaku usaha yang tidak setuju adanya UU Tapera. Salah satu alasannya, iuran Tapera akan memberatkan dunia usaha yang sudah memikul beragam beban iuran.
Pada akhirnya, banyak pihak terutama yang belum punya rumah yang diuntungkan dengan adanya Tapera. Semoga tujuan merumahkan mereka yang tidak mampu membeli rumah sungguh bisa segera terealisasi. (NOBERTUS ARYA DWIANGGA)
Kompas 25022016 Hal. 17