JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 83 persen dari 2.400 korporasi yang memiliki utang luar negeri sudah melakukan lindung nilai dan menyediakan likuiditas valuta asing. Kepatuhan terhadap aturan lindung nilai diharapkan menghindarkan korporasi dari gagal bayar jika siklus penguatan mata uang dollar Amerika Serikat berlanjut.
Jumlah korporasi itu dihitung berdasarkan korporasi yang melaporkan utang luar negeri kepada Bank Indonesia. Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo menyatakan, utang luar negeri korporasi, terutama dari sektor swasta, terus dipantau.
“Setiap bulan, kami mengkaji pergerakan utang luar negeri. Mengacu pada ketentuan mengenai utang yang jatuh tempo antara 0 dan 6 bulan, sudah 83 persen korporasi yang melakukan lindung nilai dan penyediaan likuiditas,” kata Agus, Kamis (28/1) di Jakarta.
Statistik Utang Luar Negeri Indonesia November 2015 yang dipublikasikan Bank Indonesia pada Januari 2016 menunjukkan, total utang luar negeri Indonesia mencapai 304,593 miliar dollar AS. Jika mengacu pada kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate pada Kamis, yakni Rp 13.889 per dollar AS, utang luar negeri Indonesia setara dengan Rp 4.230,49 triliun.
Total utang luar negeri Indonesia terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 137,747 miliar dollar AS dan utang swasta 166,846 miliar dollar AS. Berdasarkan komposisi, utang luar negeri swasta memiliki porsi lebih besar, yakni mencapai 54,8 persen. Adapun sisanya, yakni 45,2 persen, merupakan utang luar negeri pemerintah dan bank sentral.
Aturan
Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan BI Nomor 16/21/ PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank yang mulai berlaku 1 Januari 2015. Dalam ketentuan itu disebutkan, korporasi wajib melakukan lindung nilai sebanyak 20 persen dari selisih negatif kewajiban valuta asing (valas) dan aset valas yang akan jatuh tempo dalam enam bulan pada 2015. Rasio lindung nilai ditambah menjadi 40 persen untuk utang yang akan jatuh tempo dalam tiga bulan berikutnya.
Mulai 2016, rasio lindung nilai naik menjadi 25 persen. Dengan demikian, tiga bulan sebelum jatuh tempo, rasio lindung nilai mencapai 50 persen. Selain itu, korporasi juga wajib memenuhi ketentuan likuiditas, yakni harus menyediakan valuta asing minimal 50 persen dari kewajiban valas yang akan jatuh tempo dalam waktu tiga bulan pada 2015. Pada 2016, rasio likuiditas itu meningkat menjadi 70 persen.
Ekonom senior Kenta Institute, Eric Alexander Sugandi, mengingatkan, walaupun persentase lindung nilai meningkat, korporasi yang memiliki utang luar negeri tetap harus hati-hati. Korporasi harus menjamin arus kas tetap lancar.
“Pelambatan pertumbuhan ekonomi bisa mengganggu arus kas korporasi. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi diharapkan membaik sehingga arus kas juga membaik,” ujar Eric. (AHA)
Kompas 29012016 Hal. 17