JAKARTA, KOMPAS — Ketergantungan Indonesia terhadap barang-barang impor dari Tiongkok sangat besar. Indonesia banyak mengeluarkan mata uang dollar AS untuk transaksi perdagangan itu. Untuk menghemat dollar AS, Kementerian Perdagangan mendorong penggunaan mata uang yuan dalam perdagangan Indonesia-Tiongkok.
Menteri Perdagangan Thomas Lembong dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (18/1), mengatakan, 4-8 persen perdagangan Indonesia-Tiongkok sudah menggunakan renminbi atau yuan. Aktivitas itu didominasi perusahaan Tiongkok di Indonesia yang mengimpor bahan baku ke Indonesia.
Penggunaan yuan dalam impor bahan baku akan lebih murah dibandingkan dengan jika menggunakan dollar AS karena impor Indonesia dari Tiongkok sangat besar. “Rata-rata setahun impor Indonesia dari Tiongkok mencapai 30 miliar dollar AS. Jika sepertiganya dialihkan ke yuan, itu akan mengurangi penggunaan dollar AS sebesar 10 miliar dollar AS,” kata Lembong
Pemerintah sedang mempersiapkan penggunaan mata uang Tiongkok tersebut. Sejumlah perbankan, seperti Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Negara Indonesia, telah mempunyai pinjaman dari China Development Bank 3 miliar dollar AS yang 20 persennya berupa renminbi. “Pasti ada kesiapan matang dari pemerintah untuk menggunakan renminbi di sektor perdagangan. Bagaimana kesiapan dan tahapannya, itu nanti porsi dari Kementerian Keuangan,” ujar Lembong.
Selama ini, perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok timpang karena masih didominasi impor. Sesuai dengan data Kementerian Perdagangan, pada 2014, nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok 16,458 miliar dollar AS dan nilai impor 30,461 miliar dollar AS. Pada 2015, nilai ekspor ke Tiongkok 13,259 miliar dollar AS dan nilai impor Indonesia dari Tiongkok sebesar 29,217 miliar dollar AS.
Menurut Ketua Asosiasi Importir Telepon Seluler Indonesia Eko Nilam, penggunaan yuan menguntungkan pengusaha yang memiliki relasi dagang dengan Tiongkok karena bisa menghemat rupiah. Selama ini, transaksi impor masih menggunakan dollar AS sehingga pengusaha harus membeli dollar AS dahulu yang nilainya lebih tinggi daripada yuan. Jika langsung menggunakan yuan, hal tersebut bisa menghemat rata-rata Rp 200 untuk setiap dollar AS dari selisih kurs beli dan kurs jual.
Butuh waktu
Ekonom Senior Kenta Institute, Eric Alexander Sugandi, menyatakan, perlu waktu agar yuan benar-benar dipakai dalam transaksi perdagangan Indonesia dan Tiongkok. Selama ini, pengusaha masih lebih senang bertransaksi menggunakan dollar AS. “Belajar dari pengalaman mata uang lain, butuh waktu lebih dari lima tahun bagi yuan untuk diterima umum dalam transaksi perdagangan antarnegara, termasuk dengan Indonesia,” katanya.
Menurut Eric, ada dua alasan yuan butuh waktu untuk menjadi alat transaksi perdagangan internasional. Pertama, yuan perlu waktu agar likuiditas melimpah di pasar uang. Kedua, pemerintah dan Bank Sentral Tiongkok masih menerapkan kontrol modal untuk mencegah yuan meninggalkan Tiongkok secara masif. “Namun, Pemerintah Tiongkok pasti menggunakan pengaruhnya untuk mendorong penggunaan yuan lebih luas. Misalnya, pada proyek Asian Infrastructure Investment Bank,” katanya. (HEN/AHA)
Kompas 19012016 Hal. 19