Perindustrian : Harga Gas Pengaruhi Daya Saing

JAKARTA, KOMPAS — Biaya energi, termasuk harga gas, merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan daya saing industri. Untuk itu, perlu kerja sama lintas kementerian dan lembaga terkait untuk meningkatkan daya saing industri nasional.

“Perlu ada juga sinergi antara Kementerian Perindustrian dan SKK Migas agar didapat data valid terkait persoalan gas bagi industri. Dari segi industri, kami tadi juga memberikan masukan tentang beragam pemanfaatan gas,” kata Direktur Industri Kimia Dasar Kemenperin Muhammad Khayam, di Jakarta, Kamis (7/1).
Khayam mengatakan hal itu seusai mendampingi Menteri Perindustrian Saleh Husin bertemu Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi di Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Seusai pertemuan, Amien terburu-buru meninggalkan Kemenperin sehingga tidak dapat dimintai komentar mengenai hasil pertemuan itu.
Menurut Khayam, pemanfaatan gas saat ini tidak hanya sampai industri amonia, metana, atau untuk kepentingan industri pupuk. Perkembangan teknologi memungkinkan pula pemanfaatan gas untuk bahan baku industri plastik.
“Seperti di Bintuni (Papua Barat), arah industri gas sampai olefin karena teknologi memang sudah menjangkau ke sana. Bukan sekadar industri metana dan industri pupuk, tetapi industri bahan baku plastik,” katanya.
Sebelumnya, Saleh Husin mengatakan, harus terus bekerja sama dengan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, SKK Migas, Pertamina, dan BUMN agar biaya energi untuk industri betul-betul bisa kompetitif.
“Energi jangan lagi hanya sebagai komoditas, tetapi pendukung pembangunan ekonomi. Khusus untuk industri harus dapat perhatian khusus agar investor berlomba masuk,” katanya.

Koordinasi

Ditemui seusai rapat pimpinan Kemenperin, Rabu malam, Saleh mencontohkan pembangunan kawasan industri dalam rangka membangun industri petrokimia di Bintuni yang masih tertahan.
“Salah satu hambatan adalah masih belum ketemu harga gas. Kami terus koordinasi dengan kementerian ESDM dan SKK Migas untuk mendapatkan titik temu agar harga gas sesuai yang diinginkan sehingga pabrik petrokimia di Bintuni bisa terbangun,” kata Saleh.
Menurut Saleh, titik temu ini penting karena investasi petrokimia di Bintuni tersebut besar, sekitar 10 miliar dollar AS-15 miliar dollar AS.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang diolah Kemenperin, pertumbuhan industri nonmigas hingga triwulan IIIl-2015 sebesar 5,2 persen atau lebih rendah dibandingkan dengan 2014 yang mencapai 5,6 persen.
Kemenperin memetakan, kinerja sektor industri nasional ini lebih baik dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia yang tumbuh 4,9 persen, Singapura minus 4,5 persen, dan Thailand 0,9 persen. (CAS)
Kompas 08012016 Hal. 19

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.