JAKARTA, KOMPAS — Hilirisasi batubara dapat menjadi solusi di tengah kondisi bisnis yang saat ini sedang lesu akibat harga batubara yang belum membaik. Hilirisasi yang dapat dikembangkan antara lain pemanfaatan batubara untuk industri skala menengah dan rumah tangga.
Pemerintah memperkirakan penerimaan negara dari sektor mineral dan batubara pada 2016 masih rendah atau jauh di bawah rencana.
Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies Budi Santoso mengatakan, di tengah kondisi harga batubara yang lesu, pemerintah tak cukup mendorong peningkatan pemakaian batubara untuk pembangkit listrik. Namun, pemakaian untuk industri atau rumah tangga juga harus didorong, tetapi masih bersifat sebagai semacam pengganti bahan bakar minyak (BBM).
“Hilirisasi bisa menggantikan pemakaian BBM ataupun gas yang masih disubsidi. Artinya, akan ada penghematan pengeluaran negara, baik dari subsidi maupun impor BBM,” ujar Budi, Minggu (27/12), di Jakarta.
Agar hilirisasi benar-benar berjalan baik, lanjut Budi, pemerintah perlu memikirkan jalur logistik batubara hingga ke pelosok daerah, seperti halnya pendistribusian BBM oleh Pertamina. Ia meyakini, jika pendistribusian batubara dengan segala model hilirisasi dikerjakan baik, industri batubara akan kembali bergairah. Namun, untuk mewujudkan semua hal itu perlu modal sangat besar.
Uji coba
Mengenai hilirisasi batubara, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengatakan, hal yang paling mudah adalah dengan membuat briket batubara. Adapun untuk gasifikasi batubara belum bisa dibuat secara komersial.
Selain itu, pemerintah terus mendorong pemanfaatan batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap.
“Yang paling dekat (direalisasikan) adalah pembuatan briket batubara yang dicampur dari jenis kalori rendah dan kalori tinggi. Untuk gasifikasi batubara belum,” ujar Bambang.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM tengah menguji coba alat penghasil gas lewat pembakaran batubara. Alat itu diuji coba guna menggantikan pemakaian BBM pada usaha kecil dan menengah atau skala rumah tangga.
Alat gasifier tersebut berkapasitas 50 kilogram batubara per jam. Berdasarkan perbandingan kalori yang dihasilkan, pemakaian 1 ton batubara setara dengan 4,5 barrel minyak. Saat ini, alat tersebut masih dalam proses uji coba di Yogyakarta dan belum diproduksi secara komersial.
Tidak optimal
Di sisi lain, harga acuan batubara saat ini masih berkisar 54 dollar AS sampai 57 dollar AS per ton. Pemerintah memprediksi penerimaan negara dari sektor mineral dan batubara pada tahun depan belum optimal.
Padahal, penerimaan negara di sektor tersebut dipatok Rp 48 triliun pada 2016.
“Saya kira penerimaan negara di sektor mineral dan batubara tak jauh berbeda dari tahun ini, yaitu sekitar Rp 30 triliun,” kata Bambang.
Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan negara di sektor mineral dan batubara sebesar Rp 52 triliun. Akan tetapi, harga batubara belum juga membaik. Akibatnya, target tersebut diperkirakan tidak tercapai.
“Rencana kenaikan royalti batubara ditunda, realisasinya tidak mencapai target,” tambah Bambang.
Dalam proyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt, sekitar 50 persen di antaranya akan menggunakan batubara. Adapun sisanya menggunakan gas (25 persen) dan energi terbarukan (25 persen). Pemerintah memproyeksikan penggunaan batubara dalam proyek pembangkit tersebut sebesar 70 juta-80 juta ton per tahun. (APO)
Kompas 28122015 Hal. 17