JAKARTA –KementerianEnergi dan Sumber DayaMineral (ESDM) menyatakan Peraturan Presiden tentang Tata Kelola Gas Bumi terbit tahun depan. Sedianya peraturan tersebut ditargetkan rampung paling lambat akhir tahun ini.
“Masih pembahasan. Sepertinya tahun ini tidak terkejar (terbit),” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM IGN Wiratmaja di Jakarta, Selasa (15/12).
Peraturan ini nantinya sebagai payung hukum pembentukan badan penyangga (agregator) gas. Nantinya badan usaha yang ditunjuk menjadi agregator mendapat wewenang untuk menyusun harga jual gas sehingga tidak ada perbedaan antara satu penjual dengan penjual lainnya. Agregator ini mengatur pasokan gas sehingga tidak ada lagi perusahaan yang memiliki gas berlebih atau kekurangan.
Wiratmaja menuturkan pembahasan mengenai badan penyangga itu belum final. Pasalnya belum dipastikan agregator tersebut hanya tunggal atau ada beberapa. Dia bilang ada usulan agar agregator berdasarkan wilayah. “Banyak ide muncul apakah agregator per region. Ide ini masih berkembang terus. Apa yang terbaik, kami masih matangkan Perpresnya,” jelasnya.
Sementara itu, Pakar energi dari Universitas Indonesia Widodo Wahyu Pur wanto menuturkan sejumlah negara ada yang berhasil dan gagal dalam menerapkan skema agregator gas. Namun dia menegaskan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyeragamkam harga gas di dalam negeri.
Dia kemudian meminta Pemerintah transparan dalam menetapkan formula harga gas. Dengan demikian memberi kepastian bagi produsen dan konsumen gas di dalam negeri. Mahalnya harga gas di Indonesia dan maraknya trader bukan akar permasalahan tata kelola gas di Tanah Air. Dia menilai kedua hal tersebut hanya sebagai gejala.
“Jangan buat kebijakan karena gejala-gejala tersebut (harga gas mahal dan trader). Menurut saya problem utama karena tidak ada transparasi,” ujarnya.
Widodo menuturkan perhitungan harga sudah ada patokannya mulai dari sumur gas, biaya penyaluran atau transportasi, hingga pada proses pencairan gas (LNG). Menurutnya patokan harga dan margin selama ini tidak jelas mekanismenya. Alhasil produsen dan masyarakat yang terbebani.
“Harga yang baik memberi sinyal positif bagi produsen dan konsumen. Ini yang kurang. Di Tiongkok sudah transparan. Di Indonesia enggak ada transparansi penetapan harga,” ujarnya. (rap)
Investor Daily, Rabu 16 Desember 2015, Hal. 9