JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan memutuskan mekanisme divestasi saham PT Freeport Indonesia sebelum Januari 2016 berakhir. Sejauh ini, ada dua wacana mekanisme pembelian saham PT Freeport Indonesia, yaitu dibeli langsung oleh perusahaan milik negara atau lewat penawaran umum saham perdana (IPO). Pembelian saham harus membawa manfaat besar bagi Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, hingga saat ini belum ada sikap yang diambil pemerintah terkait divestasi saham PT Freeport Indonesia (PT FI). Pemerintah masih mempunyai waktu sampai akhir Januari 2016 untuk memutuskan.
“Belum. Masih ada waktu. Kami akan simpulkan sebelum Januari 2016,” kata Sudirman saat ditanya pilihan sikap pemerintah terkait divestasi saham PT FI, Senin (14/12), di Jakarta.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, PT FI harus melepas saham kepada pemerintah menjadi 20 persen dalam setahun sejak aturan itu berlaku. Saat ini, kepemilikan saham pemerintah di PT FI 9,36 persen. Artinya, PT FI harus melepas lagi saham sebesar 10,64 persen.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan, dua perusahaan tambang milik negara, yaitu PT Aneka Tambang Persero (Antam) dan PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (Inalum), berpeluang membeli saham yang dilepas PT FI.
Kedua pimpinan perusahaan itu berulang-ulang kepada wartawan menyatakan kesanggupan membeli saham.
Secara terpisah, Vice President Corporate Communication PT FI Riza Pratama mengatakan, PT FI secara konsisten telah menyampaikan kepada pemerintah Indonesia bahwa saham Freeport akan didivestasikan dengan nilai yang wajar.
Nilai yang wajar itu mengikuti perpanjangan operasi perusahaan. “Kami menunggu konstruksi hukum dan mekanisme yang jelas dari pemerintah (soal divestasi saham PT FI),” kata Riza.
Asing beli saham
Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies Budi Santoso menyatakan persetujuannya jika saham Freeport diambil perusahaan milik negara. Sebab, divestasi saham menambah manfaat yang didapat negara.
Selain itu, jika saham dibeli perusahaan milik negara, akan ada perwakilan manajemen di tubuh perusahaan. “Jika ada perwakilan manajemen, transfer pengetahuan akan semakin mudah. Negara juga mempunyai suara dan kontrol atas perusahaan tersebut lewat wakil mereka di manajemen,” kata Budi.
Namun, Budi menegaskan tidak setuju jika divestasi saham Freeport dilakukan melalui penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO). Sebab, tak tertutup kemungkinan pihak asing atau PT FI yang akan membeli saham tersebut.
Divestasi saham merupakan salah satu dari enam poin amandemen kontrak karya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Lima poin lain adalah menyangkut luas wilayah pertambangan, penerimaan negara, kelanjutan operasi, pemanfaatan barang dan jasa di dalam negeri, dan pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter).
Menurut Budi, ada dua hal yang sejauh ini sulit dipenuhi PT FI, yaitu divestasi dan pembangunan smelter. Seharusnya, kedua hal itu menjadi pertimbangan pemerintah terkait perpanjangan operasi PT FI di Papua. “Pemerintah harus cerdas menempatkan posisi soal divestasi saham Freeport. Jangan sampai realisasi divestasi dilakukan seusai perpanjangan operasi sampai 2041. Praktis harga (saham) akan lebih mahal,” ujarnya.
Kontrak karya Freeport akan berakhir pada 2021. Sesuai aturan, perusahaan itu dapat mengajukan perpanjangan operasi secepatnya 2 tahun sebelum kontrak berakhir, yaitu 2019. (APO)
Kompas 15122015 Hal. 17