BOGOR – Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan memangkas sedikitnya 21 ribu dari 42 ribu aturan yang selama ini menjadi penghambat arus masuk investasi. Aturan tersebut di antaranya peraturan presiden (perpres), keputusan presiden (keppres), peraturan pemerintah (PP), dan peraturan menteri (permen). Sektor-sektor yang regulasinya bakal dipangkas antara lain agraria, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), energi, kilang, dan perdagangan.
Sementara itu, kalangan pengusaha dan ekonommenyarankan agar Presiden membentuk tim khusus untuk mengaudit perizinan. Dengan melakukan audit terlebih dahulu, proses pemangkasan dan sinkronisasi perizinan akan lebih efektif dan sesuai kebutuhan dunia usaha. Agar tidak menyalahi ketentuan, sinkronisasi perizinan harus mengacu pada undang-undang (UU) terkait.
Di sisi lain, pemangkasan perizinan mesti diprioritaskan kepada sektor-sektor yang sedang diincar investor dan menjadi program unggulan pemerintah. Deregulasi dan debirokratisasi perizinan itu juga harus diarahkan ke sektor-sektor yang memiliki nilai tambah tinggi dan dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi serta mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.
BerdasarkanDoing Business 2016 yang dilansir Bank Dunia, baru-baru ini, Indonesia menempati peringkat ke-109 dari 189 negara yang disurvei dalam segi kemudahan berbisnis. Meski naik 11 peringkat dibandingkan posisi 2015 (ke-120), posisi Indonesia masih jauh di bawah peringkat negara-negara lain di Asean, seperti Malaysia (ke-18), Thailand (ke-49), dan Vietnam (ke-90).
Singapura menempati peringkat ke-1, disusul Selandia Baru, Denmark, Korea Selatan, Hong Kong, Inggris, dan Amerika Serikat (AS). Sedangkan Tiongkok, ekonomi terbesar kedua di dunia, menempati posisi ke-84, turun satu tingkat.
Data Doing Business 2016 juga menyebutkan, untuk kategori memulai investasi, Indonesia menempati peringkat ke-173, naik dibanding 2015 (163). Sedangkan untuk izin konstruksi menempati peringkat ke-107 (dari 110), fasilitas listrik ke-46 (dari 45), izin mendirikan bangunan ke-131 (dari 131), dan kemudahan kredit di peringkat ke-70 (dari 71).
Adapun untuk kategori perlindungan investor, Indonesia menempati peringkat ke-88 (dari 87), pembayaran pajak ke-148 (dari 160), perdagangan lintas perbatasan ke-105 (dari 104), dan pemenuhan kontrak ke-170 (dari 170). Sedangkan untuk kategori solusi terhadap kepailitan, Indonesia menempati peringkat ke-77 dibanding ke-73 pada 2015.
Dari segi waktu dan jumlah perizinan, menurut Doing Business 2016, memulai bisnis di Indonesia membutuhkan 13 prosedur perizinan selama 46,5 hari, izin konstruksi memerlukan 17 prosedur selama 201 hari, mendapatkan fasilitas listrik butuh lima prosedur selama 79 hari, dan izin mendirikan bangunan perlu lima prosedur dalam 25 hari. (lihat tabel)
Semua K/L
Saat memimpin rapat paripurna Kabinet Kerja di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (8/12), Presiden Jokowi memerintahkan jajaran pimpinan kementerian/lembaga (K/L) memangkas berbagai aturan berbentuk perpres, keppres, PP, permen, maupun aturan lainnya yang menyangkut Kepresidenan.
“Jadi, berdasarkan laporan Kepala Staf Kepresidenan, secara keseluruhan ada 42 ribu regulasi. Yang diminta dipangkas adalah aturan di seluruh K/L, termasuk perpres dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan Kepresidenan,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (8/12).
Pramonomenyebutkan, aturan yang akan dipangkas meliputi sektor agraria, BKPM, energi, kilang, dan perdagangan. Dia mencontohkan, pada masa lalu investor yang akan mengurus izin pembangunan pembangkit listrik investor wajib memenuhi 68 jenis periznan. Presiden Jokowi ketika memulai pemerintahan pada Oktober 2014 lalu memangkasnya menjadi 22 izin. Nantinya, jumlah itu akan dipangkas menjadi 10-12 izin.
“Sebelumnya hampir ada 68 peraturan perundangan atau perizinan. Sekarang sudah dipotong menjadi 22 perizinan. Beliau (Presiden) belum puas. Beliau minta untuk dipotong, minimal bisa menjadi 10-12 peraturan. Jadi, itu berlaku di semua kelembagaan,” ujar Pramono.
Disharmoni
Menanggapi rencana pemangkasan 21 ribu aturan itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Agung Pambudi mengatakan, selama ini ada tiga siklus regulasi yang menghambat dunia usaha dalam memulai bisnisnya dan berpotensi menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
Pertama adalah soal pendirian suatu badan usaha untuk memiliki legalitas. Kedua, setelah legalitas dikantongi, ada regulasi yangmengatur realisasi investasi atau usaha itu sendiri. Ketiga adalah regulasi yang mengatur praktik bisnis sehari-hari, seperti aturan ketenagakerjaan, akses lahan, aturan bea masuk (BM), dan pajak ekspor (PE).
“Dunia usaha ingin simplifikasi regulasi. Memang sudah ada PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) yang lebih cepat, itu bagus. Namun itu tidak cukup karena baru sebatas reformasi birokrasi, belum dilakukan reformasi regulasi atau kebijakan,” ujar Agung kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (8/12).
Agung mencontohkan, untuk mendapatkan surat izin usaha perdagangan (SIUPP), pengusaha juga harus memiliki tanda daftar perusahaan. Padahal, kedua jenis regulasi itu hampir sama dan bisa digabungkan. Ada pula regulasi mengenai izin gangguan yang diterbitkan sejak zaman Belanda. Izin tersebut sudah tidak bisa diterapkan, namun masih saja diberlakukan. “Yang seperti ini kanharus dihapus,” tandas dia.
Agung menilai K/L-lah yang bisa menjawab berapa jumlah regulasi yang harus dipangkas. Mereka harus menginventarisasi dan mengkaji secara lebih serius untuk memperbaiki iklim investasi.
Agung juga menyoroti regulasi di tingkat daerah yang belum tersentuh oleh tujuh paket kebijakan ekonomi yang sudah digulirkan pemerintah. Bahkan, banyak peraturan daerah (perda) yang tumpang tindih atau bertabrakan dengan aturan pusat. Padahal, pengusaha tak bisa menanamkan modalnya jika tidak disetujui daerah.
“Meski ada izin dari pusat, pemda tetap memegang izin utama, misalnya izin lokasi, izin mendirikan bangunan, SIUP, semua ada di daerah. Kalau mereka tidak berkenan, investasi tidak bisa jalan,” papar dia.
Rugikan Pengusaha
Dihubungi terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Kamdani mengatakan, pemerintah terkadang mengeluarkan regulasi yang merugikan pengusaha. Misalnya aturan pada paket kebijakan ekonomi berupa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 87 Tahun 2015 tentang Ketentuan Produk Impor Tertentu dan Permendag No 70 Tahun 2015 tentang Angka Pengenal Importir.
Shinta menilai kedua permendag tersebut tidak mendukung pertumbuhan industri nasional karena lebih mementingkan pertumbuhan impor daripada produksi dalam negeri. Dalam Permendag 87/2015, misalnya, impor kosmetik dibebaskan dari verifikasi. Hal ini jelas membuka peluang bagi banjirnya produk ilegal.
“Permendag 87/2015 sebaiknya dibatalkan. Banyak industri terpukul oleh permendag ini, seperti industri kosmetika, mainan anak, elektronika, tekstil, dan alas kaki,” tutur dia. Permendag 70/2015, kata Shinta, juga memicu permasalahan danmenimbulkan kebingungan. Soalnya, pemegang Angka Pengenal Impor (API) Umum bisa mengimpor semua jenis barang. Sebaliknya, API Produsen hanya bisa mengimpor barang untuk pendukung industrinya dan dilarang mengimpor barang jadi.
“Padahal, dalam peraturan sebelumnya, API Produsen bisa mengimpor barang jadi untuk tes pasar,” ucap dia.
Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengakui kedua peraturan itu banyak diprotes pengusaha. Untuk itu, pemerintah akan merevisinya. “Kemendag tengah mengkajinya. Revisinya diharapkan rampung akhir tahun ini,” kata dia.
Bingungkan Investor
Di sisi lain, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengungkapkan, pemerintah belum berhasil mengimplementasikan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
“Padahal, jika PTSP sudah efektif diimplementasikan, investasi asing akan lebih meningkat lagi,” ujar dia.
Enny menjelaskan, perizinan ganda dengan prosedur berbelit masih terjadi antara lain karena pemerintah pusat belumbersinergi dengan pemda. Alhasil, izin investasi masih harus melalui pemerintah pusat (lewat BKPM), pemerintah provinsi, dan pemkab/pemkot, dengan prosedur yang panjang. “Di sinilah perlunya pemerintah pusat menjalin koordinasi yang baik dan bersinergi dengan pemda,” kata dia.
Padahal, menurut Enny, pemerintah sudah membuat paket kebijakan ekonomi yang menjanjikan layanan perizinan satu pintu. Bahkan, BKPM menjanjikan layanan izin tiga jam untuk mendapatkan tiga produk hukum, yakni izin investasi, akta pendirian perusahaan, dan nomor pokok wajib pajak (NPWP). “Paket kebijakan ekonomi untuk kemudahan berinvestasi hanya semacam wacana dan nihil implementasi,” tandas dia.
Enny Sri Hartati mengakui, agar efektif dan tidak menimbulkan masalah, pemerintah perlu membentuk tim khusus untuk menginventarisasi atau mengaudit perizinan. “Dengan melakukan audit terlebih dahulu, proses sinkronisasi akan lebih efektif. Supaya tidak menyalahi ketentuan, sinkronisasi perizinan juga mesti tetap mengacu pada UU terkait,” tutur dia.
Dia menegaskan, deregulasi dan debirokratisasi perizinan harus diarahkan ke sektor-sektor yang memiliki nilai tambah tinggi dan mampu memacu per tumbuhan ekonomi nasional. Dengan begitu, tujuan utama menjaring investasi, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, benar-benar tercapai.
Selain masalah perizinan yang berlapis dan bertele-tele, menurut Enny, minimnya infrastruktur masih menjadi kendala bagi para investor, terutama jalan, pelabuhan, listrik, dan air bersih. Hal lain yang menyulitkan investor adalah masalah pembebasan lahan. Realisasi Perizinan Enny Sri Hartati mengemukakan, pemerintah khususnya BKPM harus melakukan pengawasan realisasi investasi setelah persetujuan investasi diberikan. Berdasarkan pengalaman tahun lalu, realisasi investasi dibanding realisasi perizinan yang dikeluarkan BKPM hanya mencapai 50%.
“BKPM harus menjelaskan, mengapa laporan yang selama ini dipublikasikan ditulis realisasi investasi, bukan realisasi perizinan investasi. Kewenangan BKPM adalah memberikan izin investasi. Pengertian realisasi investasi dan realisasi izin investasi sangat jauh berbeda,” tegas dia.
Menurut Enny, jika seluruh data yang dikeluarkan BKPM merupakan realisasi investasi, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi langsung setiap tahun seharusnya meningkat.
“Porsi investasi melalui BKPM secara nasional hanya 20%, sisanya digerakkan investasi kecil dan menengah yang tidak melalui BKPM. Jika benar data yang dipublikasi adalah realisasi investasi, seharusnya daya beli masyarakat meningkat,” ujar dia. (rw/dho/hg/az)
Investor Daily, Kamis 10 Desember 2015, Hal. 1