Kebijakan Bioetanol Akan Dikaji Ulang : Rantai Bisnis Perlu Diperjelas

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Pertamina berencana mengkaji ulang kebijakan pemanfaatan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak. Hingga menjelang akhir tahun ini, kewajiban pencampuran bioetanol sebesar 2 persen ke dalam bahan bakar minyak belum berjalan baik.

Kebijakan bahan bakar nabati jenis bioetanol diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Dalam lampiran peraturan itu disebutkan kewajiban minimal pemanfaatan bioetanol dan biodiesel sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM).
Per April 2015, untuk transportasi nonsubsidi sebesar 2 persen. Besaran campuran yang sama juga diberlakukan untuk industri dan komersial. Adapun untuk usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi, dan pelayanan umum yang disubsidi sebesar 1 persen.
Mulai 1 Januari 2016, besaran campuran untuk usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi, dan pelayanan umum yang disubsidi naik menjadi 2 persen. Sementara untuk transportasi nonsubsidi, serta industri dan komersial, masing-masing naik menjadi 5 persen.
Direktur Pemasaran PT Pertamina (Persero) Ahmad Bambang mengatakan, apabila premium dicampur dengan etanol sebesar 2 persen, yang artinya setiap seliter premium mengandung etanol 2 persen, harganya akan menjadi lebih mahal Rp 50 sampai Rp 100 per liter dari harga jual premium saat ini.
“Sekarang saja, kami menjual BBM jenis premium penugasan di luar wilayah Jawa, Madura, dan Bali, belum bisa dikatakan untung. Apabila harus menjual premium yang sudah dicampur etanol, dari mana dana untuk menutupinya? Sebab, penjualan premium yang sudah dicampur etanol menjadi lebih mahal,” kata Ahmad, Senin (7/12), di Jakarta.
Ahmad menambahkan, penerapan kewajiban pencampuran etanol ke dalam BBM masih akan dibicarakan lebih lanjut. Pertamina memperkirakan kebijakan tersebut dapat berjalan penuh mulai tahun depan. Saat ini, baik Pertamina dan pemerintah, masih fokus dengan kebijakan pencampuran biodisel ke dalam solar.
“Kami ingin bekerja sama langsung dengan produsen etanol. Saat ini, fokus kami pada kewajiban pencampuran biodiesel ke dalam solar. Mulai tahun depan sepertinya sudah bisa dijalankan secara penuh soal bioetanol,” ujar Ahmad.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Koservasi Energi pada Kementerian ESDM Rida Mulyana mengakui perlunya pembahasan lebih jauh soal pencampuran etanol ke dalam BBM. Perlu kejelasan mengenai rantai bisnis pencampuran etanol ke dalam BBM mulai dari hulu hingga hilir.
“Kami perlu membahasnya dengan Pertamina. Soal bahan baku, pembuatan etanol tidak ada masalah. Banyak bahan baku tersedia dari tetes tebu, singkong, dan sebagainya,” kata Rida.

Tidak terserap

Seperti yang pernah diberitakan, produksi etanol PT Perkebunan Nusantara X lewat anak usaha mereka, yaitu PT Energi Agro Nusantara, tak seluruhnya terserap di dalam negeri. Produksi etanol perusahaan tersebut mencapai 30.000 kiloliter per tahun. Lantaran tak terserap di dalam negeri, produksi etanol diekspor ke Filipina.
“Etanol yang kami produksi tidak ada pembelinya di dalam negeri. Oleh karena itu, etanol kami ekspor ke Filipina karena di negara tersebut ada kebijakan pencampuran etanol ke dalam BBM sebesar 10 persen,” kata Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X Subiyono.
Menurut Subiyono, produksi etanol sebanyak 30.000 kiloliter dalam setahun membutuhkan bahan baku tetes tebu 400 ton per hari. Ia menjamin bahwa dengan bahan baku pembuatan etanol yang melimpah mampu memenuhi kebutuhan etanol seperti yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 12/2015 tersebut di atas. (APO)
Kompas 08122015 Hal. 17

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.