Hingga 2025, Pengembangan Bandara Indonesia Butuh US 25 M

JAKARTA – Pembangunan bandara di Indonesia ditaksir membutuhkan nilai investasi mencapai US$ 25 miliar dalam kurun waktu 10 tahun ke depan atau hingga 2025 mendatang. Angka tersebut meningkat dua kali lipat dari kebutuhan nilai investasi pembangunan bandara saat ini sebesar US$ 12,5 miliar.
Hal tersebut tercantum dalam laporan tahunan terbaru PricewaterhouseCoopers (PwC) yang berjudul Connectivity and Growth: Issues and Challenges for Airport Investment. Laporan itu memuat isu dan tantangan yang dihadapi investasi sektor bandara, serta sejumlah kesimpulan penting bagi industri penerbangan nasional.
PwC Indonesia Capital Projects & Infrastructure Adviser Julian Smith menjelaskan, permintaan untuk meningkatkan nilai investasi itu karena pertumbuhan lalu lintas udara di Indonesia yang diproyeksikan mencapai 4,8% per tahun hingga tahun 2025. “Hal itu dipicu oleh pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya jumlahmasyarakat kelas menengah yang memiliki kecenderungan untuk melakukan perjalanan udara lebih sering seiring dengan meningkatnya penghasilan mereka,” kata dia dalam keterangan tertulisnya yang diterima Investor Daily, akhir pekan lalu.
Sementara itu, pemerintah pada tahun ini berinvestasi Rp 11 triliun untuk pembangunan bandara di seluruh Indonesia. Pembangunan dan pengembangan bandara tersebut diutamakan pada daerah-daerah rawan bencana yang tersebar di 57 lokasi. Sementara untuk daerah perbatasan sebanyak 26 lokasi. Daerah terisolir sebanyak 49 bandara. Selain itu, terdapat sejumlah 14 bandara yang akan diperpanjang landasan pacunya disertai pembangunan terminal baru.
Julianmenilai, dengan adanya kebutuhan nilai investasi sebesar itu, maka sektor swasta, baik domestik maupun asing perlu diberi kesempatan untuk terlibat dalam pembangunan bandara di Indonesia. Pasalnya, estimasi investasi yang diperlukan, masih di luar kemampuan PT Angkasa Pura (AP) I dan II.
“Banyak bandara di berbagai provinsi di Indonesia, termasuk juga sistem pengendalian lalu lintas udara, yang memerlukan sumber pendanaan baru. Sejauh ini investasi swasta untuk pembangunan infrastruktur bandara nyaris tidak ada, sangat jauh berbeda dengan di banyak negara lainnya,” terang dia.
Padahal, sambung Julian, menurut laporan pihaknya akan ada banyak sekali yang bersedia untuk memanfaatkan peluang investasi bandara jika peluang tersebut terstruktur sesuai standar internasional. Karena itu, pemerintah perlu menyediakan kerangka kerja yang komprehensif bagi para calon investor swasta yang ingin masuk ke sektor pembangunan bandara, baik itu dari segi peraturannya maupun kontraktual.
“Peluangnya adalah, menurut laporan kami, akan ada banyak sekali yang bersedia untuk memanfaatkan peluang investasi bandara jika peluang tersebut terstruktur sesuai dengan praktik terbaik internasional. Investor mungkin ragu untuk menghadapi resiko yang timbul dari peraturan yang berlaku saat ini seperti mewajibkan bandara untukmemperoleh pendapatan dalam rupiah, tidak dalam dolar AS,” papar dia.
Beri Kesempatan
Menanggapi hal itu, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengatakan, pemerintah akan mendukung investasi yang dilakukan swasta yang berminat untuk membangun bandara, asalkan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Tanah Air.
“Infrastruktur telah menjadi sektor prioritas utama kami untuk menarik investasi. Investasi bandara sangat penting untuk memperbaiki konektivitas antar-kawasan di Indonesia. Pemerintah akan mendukung investasi berdasarkan peraturan yang berlaku,” kata dia.
Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Penerbangan Berjadwal Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Bayu Sutanto menilai bahwa sektor swasta yang berminat membangun bandara perlu diberi kesempatan untuk merealisasikan minatnya itu. “Diberi kesempatan dengan adanya kemudahan perizinan dan insentif bagi swasta yang berminat membangun bandara di Indonesia,” ungkap dia.
Bayu mengungkapkan, sampai dengan saat ini sejumlah bandara di Tanah Air, baik itu yang dikelola oleh AP I dan AP, maupun yang dioperasikan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) selalu ketinggalan dalam hal mengantisipasi pertumbuhan jumlah penumpang setiap tahunnya.
“Itu baik dalam hal airside, seperti runway, apron, parking stand, navigasi, dan lain sebagainya. Maupun, pada groundside, seperti terminal check in dan boarding, kedatangan, ruang tunggu, dan lain-lain,” katanya.
Bayu berpendapat, penyebab hal itu lantaran pihak pengelola bandara sepertinya kurang melihat data pertumbuhan penumpang dan jumlah pesawat yang beroperasi, malah cenderung terlampau mempertimbangkan angka-angka fiskal bujet semata.
“Kami berharap pihak bandara mempunyai rencana pengembangan yang proaktif minimal 3-5 tahun ke depan, bukan reaktif setelah penumpang dan pesawat banyak, baru tergopoh-gopoh membangun peningkatan kapasitas bandara,” ungkapnya.
Operator Bandara
Sebelumnya, Direktur Utama AP II Budi Karya Sumadi mengatakan, pihaknya membutuhkan dana investasi sekitar Rp 60 triliun hingga 2021 mendatang untuk mengembangkan 13 bandara yang sudah ada dan membangun bandara bar u. Dari total kebutuhan dana investasi itu, sekitar 64% porsinya atau sejumlah Rp 41 triliun bakal dialokasikan untuk pengembangan Bandara Soekarno- Hatta, Tangerang.
“Rencana investasi Bandara Soetta terbesar akan dilakukan pada tahun ini dan tahun 2016, yaitu sebesar masing-masing Rp 12 triliun dan Rp 17 triliun. Sementara pada 2017, dana yang diperlukan senilai Rp 10 triliun,” ungkap Budi.
Budi mengatakan, untuk sumber pendanaan, pihaknya mengandalkan tiga sumber, yakni Penyertaan Modal Negara (PMN), pinjaman dari lembaga finansial, hingga penerbitan obligasi.
Sementara itu, Direktur Keuangan AP II Andra Y Agussalam pernah menyatakan, gunamemperoleh kemudahan mendapatkan dana investasi, pihaknya juga membuka peluang untuk initial public of fering (IPO) dalam lima tahun mendatang. “Untuk go public dalam lima tahun ke depan merupakan suatu kewajiban. Karena, kami bisa mendapatkan kemudahan pendanaan yang nantinya dipakai untukmengembangkan danmembangun bandara,” jelas dia.
Julian mengatakan, dengan signifikannya pertumbuhan lalu lintas penumpang di wilayah Jakarta, diperlukan segera bandara baru penunjang Soetta. “Sangat jelas bahwa Jakarta segeramemerlukan bandara kedua untuk dapat mengakomodir permintaan yang terus meningkat dan untuk mendukung efisiensi ekonomi,” papar dia.
Julian mengatakan, Laporan tahunan PwC merekomendasikan agar kota-kota di Asia mengikuti apa yang telah ditempuh oleh kota-kota di Eropa dengan membangun lebih dari satu bandara untuk satu kota. “Dengan memperbaiki konektivitas sebagian besar populasi di kota tersebut, serta menawarkan efisiensi yang lebih baik dan meningkatkan kemampuan jika terjadi gangguan,” ujar dia.
Investor Daily, Senin 30 November 2015, Hal. 25

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.