JEMBER, KOMPAS — Migrasi tenaga kerja Indonesia bukan hanya terkait dengan tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang bekerja di rumah tangga, melainkan juga berbagai profesi, seperti anak buah kapal. Anak buah kapal termasuk pekerja yang rentan mendapat perlakuan diskriminasi.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Lalu Muhammad Iqbal, Rabu (25/11), mengungkapkan, konteks subyek di dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri lebih menyasar kepada pekerja migran sektor domestik atau pekerja rumah tangga (PRT).
Ada kesan yang muncul di masyarakat bahwa buruh migran selalu identik dengan PRT. “Padahal, migrasi manusia bukan sekadar membicarakan tenaga kerja sektor domestik. Arus perekonomian internasional berdampak kepada keluar masuk beragam jenis profesi. Selain PRT, anak buah kapal (ABK) menjadi profesi? yang rentan diskriminasi dan kesenjangan ekonomi sosial,” kata Lalu.
Pihak Kemenlu mencatat ada sekitar 200.000 warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai ABK. Setiap tahun, jumlah kasus kekerasan terhadap ABK meningkat. Tahun 2014, kasus yang dilaporkan kurang lebih 300 kasus. Hingga sekarang, Kemenlu telah menerima laporan 300-400 kasus.
Menurut Lalu, sudah ada pembahasan terkait draf rancangan undang-undang revisi ?UU No 39/2004. Draf itu berasal dari inisiatif DPR dan telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 13 Oktober 2015. Ada perbedaan substansi dibandingkan dengan UU sebelumnya.
Sebagai contoh, peran daerah dilibatkan dalam sistem penempatan dan perlindungan pekerja migran dan perlindungan buruh migran di bidang hukum, ekonomi, dan program asuransi. Selain itu, proses penempatan diperluas, yaitu diperbolehkannya dilakukan secara mandiri.
“Kementerian Luar Negeri diminta Presiden Joko Widodo membahas draf itu bersama lima kementerian. Sikap kami tegas, y?akni penempatan berbasis perlindungan, penguatan hak-hak buruh migran dari beragam sektor profesi, dan pentingnya keterlibatan pemerintah daerah,” kata Lalu.
Pada saat bersamaan, Associate Professor dari Institute for Population and Social Research Mahidol University Bangkok Rosalia Sciortini menyampaikan, pekerja migran dalam konteks regulasi yang berlaku masih sering berkutat pada hal ekonomi. Isu sosial budaya diabaikan. Kondisi ini terjadi di banyak negara pengirim dan penerima pekerja migran.
Profesi prioritas
Di tataran ASEAN, menurut Rosalia, ada tiga pilar utama dalam ASEAN, yaitu sosial budaya, ekonomi, dan politik. Pilar ekonomi terus menjadi pembahasan antar negara, seperti bagaimana perdagangan bebas (free trade) dan investasi.
Pembicaraan mengenai arus keluar masuk tenaga kerja memang dibicarakan, tetapi itu hanya menyangkut delapan profesi prioritas. Kedelapan profesi itu antara lain akuntan, arsitektur, dan pekerja di sektor industri pariwisata.?
“Ada sektor tenaga kerja yang rentan terhadap kekerasan dan ketidakadilan, seperti pekerja di domestik. Sektor ini didominasi oleh perempuan yang mengalami kesenjangan ekonomi dan jender. Jumlah mereka cenderung lebih besar dibandingkan dengan delapan profesi itu,” kata Rosalia.
Sayangnya, perhatian negara, seperti Indonesia, terhadap pekerja migran domestik masih kurang. ?Mereka bahkan terlilit beban kontrak dengan perusahaan swasta yang merekrut dan mengirim. Contoh beban yang dimaksud adalah biaya perekrutan dan penempatan. Biaya itu biasanya dibayar pekerja dengan upah mereka selama jangka waktu tertentu.
Di Jember, kegiatan Jambore Nasional Buruh Migran Nasional berlangsung 23-25 November 2015. Kegiatan itu diikuti 1.697 orang yang mayoritas merupakan kelompok tenaga kerja Indonesia (TKI) dari sejumlah daerah asal, seperti NTT, NTB, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Dalam acara itu, hadir pula perwakilan TKI yang bekerja di Arab Saudi, Taiwan, Korea Selatan, dan Belanda. (MED/SIR)
Kompas 26112015 Hal. 18