Daya Saing : Wow. Indonesia Turun 16 Tingkat

Institute of Management Development, sebuah lembaga pendidikan bisnis ternama yang bermarkas di Lausanne, Swiss, memberi rapor merah bagi pengembangan sumber daya manusia, khususnya tenaga terampil, di Indonesia. Lembaga think thank dunia ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-41 dari 61 negara yang disurvei.

Kelangkaan tenaga profesional menjadi kendala dalam daya saing negara-negara ASEAN. Dalam program
KOMPAS/RUSDI AMRALKelangkaan tenaga profesional menjadi kendala dalam daya saing negara-negara ASEAN. Dalam program “Orchestrating Winning Performance” di Singapura, Rabu (18/11), Direktur IMD untuk Kawasan Asia Tenggara dan Oceania Margaret Cording mengingatkan akan pentingnya ketersediaan tenaga-tenaga profesional untuk mengatasi dinamika pasar yang tak terduga.

Peringkat tersebut tertuang dalam “World Talent Report 2015″ yang diumumkan di Singapura, Selasa (17/11) lalu. Posisi Indonesia melorot 16 tingkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jauh di bawah posisi negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, bahkan Thailand. Posisi Indonesia sedikit lebih baik dibandingkan dengan India dan Brasil.
Hasil survei tersebut mengejutkan banyak pihak, terutama Indonesia yang akan bergegas menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Rendahnya daya saing tersebut seiring dengan pelambatan ekonomi dan rendahnya serapan anggaran pemerintah di Indonesia. Sementara Malaysia turun 11 tingkat akibat gejolak politik dan pelambatan ekonomi.
“Hanya Singapura di kawasan ASEAN yang mampu menduduki posisi 10 besar dunia. Indonesia dan Malaysia malah melorot di urutan ke-41 dan ke-15,” kata Direktur IMD’s Competitiveness Center Arturo Bris saat mengumumkan hasil survei tersebut.
Hasil survei yang telah dilakukan IMD dalam dua tahun terakhir ini diumumkan saat IMD menggelar program Orchestrating Winning Performance (OWP) yang diikuti 120 eksekutif dari 30 negara, termasuk Indonesia. Survei ini melibatkan lebih dari 4.000 eksekutif dari 61 negara
Peringkat yang tinggi menunjukkan optimisme bahwa negara tersebut mampu mempertahankan, bahkan meningkatkan lagi pertumbuhan ekonominya. Sebaliknya, peringkat yang rendah menunjukkan bahwa negara itu tidak memiliki daya saing yang cukup untuk menghadapi tantangan dan persaingan ekonomi dunia.
Talent atau tenaga yang berbasis kompetensi sangat dibutuhkan perannya dalam kondisi dunia yang cepat berubah. Keberadaan tenaga profesional, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, diyakini mampu mengatasi kondisi sulit, bahkan kontribusinya sangat signifikan menciptakan inovasi, membuat model bisnis baru, hingga merebut peluang bisnis baru.
Arturo menjelaskan, pemeringkatan yang dilakukan IMD dilakukan dengan tiga kategori, yakni faktor investasi dan pengembangan, faktor daya tarik, serta faktor kesiapan. Faktor investasi dan pengembangan mencakup besaran belanja publik terhadap sektor pendidikan, terutama pendidikan sekunder. Faktor ini juga mengaitkan kesempatan pekerja atas pelatihan-pelatihan yang dapat mengembangkan kemampuan pekerja serta pertumbuhan angkatan kerja wanita.
Sementara faktor daya tarik mencakup biaya dan kualitas hidup, motivasi pekerja, serta kemampuan mempertahankan pekerja terampil untuk tetap bekerja di tempat yang sama. Adapun faktor kesiapan mencakup ketersediaan pekerja terampil, pengalaman internasional, keterampilan bahasa dan bidang keuangan, serta kesejahteraan pekerja, seperti gaji, bonus, dan insentif lain.
Direktur IMD Kawasan Asia Tenggara dan Oceania Margaret Cording menjelaskan, daya saing terkait erat dengan kondisi infrastruktur, regulasi, dan kemampuan pemerintah mendorong dunia usaha menciptakan model bisnis yang baru. Margaret memberi contoh potret Ibu Kota Jakarta yang setiap sore hari menghadapi kemacetan luar biasa. Potret tersebut menunjukkan infrastruktur di Indonesia masih tergolong buruk. Dengan kondisi seperti itu, pekerja profesional akan menghindari mengembangkan kemampuannya di Indonesia.
Selain jalan raya, infrastruktur yang dibutuhkan adalah bandar udara dan pembangkit energi listrik. Infrastruktur yang tak kalah penting adalah frekuensi pita lebar (broadband) yang dibutuhkan untuk perkembangan informasi dan komunikasi. Belum menariknya Indonesia bagi pekerja profesional untuk mengembangkan diri adalah birokrasi yang tumpang tindih dan berbelit-belit dalam proses perizinan atau regulasi.
Untuk kawasan ASEAN, Margaret menunjuk Singapura sebagai contoh baik untuk pengembangan pekerja profesional. Selain infrastruktur yang lebih baik, pemerintah dan dunia usaha di negara ini berani melakukan investasi dan pengembangan sumber daya manusia, termasuk menghadirkan lembaga pendidikan berkaliber kelas dunia.

Catatan merah

Saat Indonesia diyakini akan tampil sebagai macan ekonomi dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan hingga tahun 2030, IMD justru mengumumkan daya saing Indonesia dalam bidang sumber daya manusia makin melemah. Pelemahan daya saing tersebut juga terjadi saat Indonesia tengah menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Arturo menyayangkan turunnya peringkat Indonesia dalam survei pekerja profesional 2015. Namun, hasil survei ini hendaknya dijadikan tolok ukur bagi Indonesia untuk memperbaiki diri. Hal yang mendesak bagi Indonesia adalah memperbaiki infrastruktur dasar, termasuk di sektor pendidikan dan kesehatan. Salah satu penyebab peringkat Indonesia merosot adalah belanja publik untuk sektor pendidikan rendah. Untuk kriteria ini, Indonesia menempati urutan ke-54 dari 61 negara.
Catatan merah bagi Indonesia juga terlihat pada angkatan kerja wanita. Jumlah pekerja wanita dibandingkan dengan seluruh jumlah tenaga kerja dirasakan kecil sekali sehingga dalam survei angkatan kerja wanita, Indonesia menduduki urutan ke-53. Bagi pekerja profesional, apalagi yang berpengalaman internasional, Indonesia bukan tempat yang menjanjikan. Dalam ukuran remunerasi, termasuk gaji, bonus, dan insentif lain, peringkat Indonesia termasuk paling buruk dengan menduduki urutan ke-60.
Kondisi ini akan membuat para pekerja profesional akan berpikir seribu kali mengembangkan diri di Indonesia. Dampak ikutan dari kondisi ini akan membuat pekerja profesional semakin langka atau sangat terbatas. Kelangkaan tersebut akan berakibat daya saing Indonesia rendah di kancah dunia karena dari para pekerja profesional tersebut diharapkan inovasi, kegigihan usaha, dan keberanian mengambil risiko tumbuh.
Arturo mengingatkan, kondisi saat ini penuh dengan ketidakpastian serta kondisi pasar yang sangat dinamis. Kebutuhan pekerja profesional menjadi salah satu kunci untuk mengatasi persoalan-persoalan yang semakin sulit. Kemampuan para pekerja terampil tersebut, baik dari dalam maupun luar negeri, diharapkan mampu mengelola aneka bentuk perubahan.
Margaret Cording menambahkan, kelangkaan pekerja profesional di negara-negara ASEAN, kecuali Singapura, sudah amat dirasakan, bukan hanya untuk kebutuhan manajemen tingkat atas, melainkan juga di tingkat manajemen menengah. Defisitnya kebutuhan pekerja profesional di kawasan ini karena banyak pekerja yang tidak berpendidikan tinggi.
Indikator lain kelangkaan pekerja profesional di kawasan ini adalah tidak terdengar lagi tenaga-tenaga profesional dari ASEAN yang muncul di panggung regional ataupun global. Pekerja dari kawasan ini, selain merasa tidak tertantang untuk menjadi pekerja profesional yang unggul, juga dipengaruhi dengan budaya lokal yang tidak mendukung. “Mereka sangat berhati-hati untuk menyampaikan hal-hal yang berbeda,” ujar Margaret.
Peluang Indonesia untuk menonjol di panggung dunia sesungguhnya sangat besar. Indonesia bersama negara-negara ASEAN berpenduduk lebih dari 600 juta jiwa, yang merupakan pasar terbesar ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan India. Semua negara di Eropa jika disatukan pun hanya berpenduduk 507 juta jiwa, sedangkan Amerika Serikat dan Jepang masing-masing berpenduduk 313 juta jiwa dan 127 juta jiwa.
Oleh karena itu, lanjut Arturo, sudah saatnya Indonesia memperbaiki sistem pendidikan yang memungkinkan tenaga-tenaga profesional baru yang siap menghadapi persaingan dunia lahir. Ia juga berharap Indonesia mampu memperbaiki kondisi lingkungan bisnis yang memberi daya tarik bagi kalangan profesional, termasuk dari mancanegara.
Ia memberi contoh negara yang menduduki peringkat teratas dalam “World Talent Report 2015″, yaitu Swiss. Di negara ini, sistem pendidikan sudah terbangun dengan baik, bahkan lebih spesifik bidang ilmu yang dikembangkan. “Di Swiss, kita hanya mengenal bidang perbankan dan teknik rekayasa,” kata Arturo mencontohkan.
Selain Swiss, empat negara Eropa lain menduduki peringkat teratas dalam daya saing sumber daya manusia. Denmark menempati peringkat kedua, disusul Luksemburg, Norwegia, dan Belanda. Sementara peringkat ke-6 hingga ke-10 ditempati Finlandia, Jerman, Kanada, Belgia, dan Singapura.
Begitu banyak pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk mengatasi ketertinggalannya. Namun, tidak mustahil apabila semua pihak bersungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan sumber daya manusia yang terampil, baik dari dalam maupun luar negeri, cita-cita Indonesia mandiri dalam bidang ekonomi, berdaulat, dan bermartabat akan menjadi kenyataan dalam waktu singkat. (RUSDI AMRAL)
Kompas 25112015 Hal. 26

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.