JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memandang Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP) bermanfaat untuk mendorong reformasi ekonomi Indonesia. Kini, pemerintah tengah mengkaji persyaratan perjanjian perdagangan itu. Namun, rencana pemerintah tersebut mendapatkan kritik dari sejumlah kalangan.
“TPP itu membuat kaget banyak kalangan karena ambisi atau tuntutan TPP itu tinggi sekali. Tuntutan melalui reformasi ekonomi yang mendalam, praktik perdagangan, pola niaga, hingga perlindungan investasi yang begitu tinggi. Kalau tidak bergabung, kita akan ditinggal,” kata Menteri Perdagangan Thomas Lembong dalam acara “2016 Indonesian Economy Outlook” yang diselenggarakan Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), Selasa (24/11), di Jakarta.
Menurut Lembong, di sidang kabinet, Presiden Joko Widodo menyatakan dengan lugas, Indonesia tidak memiliki pilihan lain untuk membuka diri dan bergabung dengan TPP. Mengambil contoh Vietnam, lanjut Lembong, negara itu telah menyelesaikan perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa dan kemudian juga TPP. Jika Indonesia tidak mengikuti, ekspor Indonesia ke Uni Eropa dan kemudian TPP, akan kalah bersaing dibandingkan dengan Vietnam. Sebab, saat ini ekspor Indonesia masih diberi fasilitas khusus, yakni tarif 0 persen ke Eropa karena pendapatan per kapita Indonesia belum melebihi 4.000 dollar AS per tahun.
“Kalau lebih dari itu, kita akan dikenai tarif 10-15 persen. Kenyataannya, ada banyak pabrik di Indonesia yang direlokasi ke sana,” kata Lembong.
Namun, Lembong mengakui, mitra dagang utama Indonesia adalah Tiongkok dengan nilai perdagangan 30 miliar dollar Amerika Serikat. Namun, neraca perdagangan Indonesia terhadap Tiongkok defisit 14 miliar dollar AS.
Menurut Lembong, defisit tersebut bisa diseimbangkan melalui sektor lain dengan relatif cepat, yakni melalui pariwisata dan investasi.
Banyak pekerjaan rumah
Pada kesempatan tersebut, dosen Pascasarjana Universitas Indonesia sekaligus anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Emil Salim, mengingatkan, dari sisi dalam negeri, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan Indonesia. Sementara melalui TPP, seolah permasalahan bangsa sudah bisa diselesaikan.
“Pembangunan bukan hanya membangun ekonomi, melainkan membangun bangsa. Itu yang tidak saya lihat,” kata Emil.
Menurut Emil, Kemitraan Trans-Pasifik didorong kepentingan Amerika Serikat. Melalui perjanjian perdagangan tersebut, lanjut Emil, negara berkembang disamakan dengan negara maju di dalam persaingan pasar bebas. (NAD)
Kompas 25112015 Hal. 17