JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan industri, terutama industri baja, dinilai harus menyeluruh. Pengawasan diharapkan tidak sebatas pada material mentah baja, tetapi juga pada produk jadi.
Hal ini antara lain mengemuka pada konferensi pers peluncuran Steel Indonesia Expo 2016 di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Rabu (4/11).
Direktur Eksekutif The Indonesian Iron and Steel Industry Association Hidajat Triseputro menuturkan, pihaknya berharap sekali pada program penggunaan produk dalam negeri (P3DN).
“Dengan nilai proyek infrastruktur yang Rp 300 triliun, potensi penggunaan baja sangat besar,” katanya.
Jika P3DN optimal, menurut Hidajat, tidak akan ada lagi produsen baja yang berperan seperti pedagang atau produsen yang mencampur produk mereka dengan produk baja impor yang lebih murah.
“Untuk mengerem baja impor, penerapan SNI (standar nasional Indonesia) harus komprehensif dengan kontrol dan penegakan hukum yang ketat di pabrik ataupun barang beredar,” kata Hidajat.
Ketua Asosiasi Pabrikan Tower Indonesia Hapsari mengingatkan arti penting perlindungan bagi industri produk jadi. Apalagi ada pabrikan yang selama ini mengimpor barang jadi.
“Contohnya, tiang menara dan conveyor (peranti pembawa barang). Barang jadi itu bedanya sedikit sekali dengan material mentah,” katanya.
Menurut Hapsari, industri mana pun tidak mampu menyaingi industri baja Tiongkok karena ada fasilitas pengembalian pajak dari pemerintah. “Otomatis tanpa mengambil untung pun, mereka dapat pengembalian 15-17 persen,” katanya.
Menurut Hapsari hal seperti ini perlu menjadi pemikiran agar perlindungan jangan hanya diterapkan pada material mentah, tetapi juga pada produk jadi berbahan logam.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, saat ini tidak mungkin memberikan perlindungan dalam bentuk perlindungan tarif, terkecuali ada kecurangan.
“Kecurangan dimaksud seperti dumping atau membanjiri pasar dengan cara tidak fair. Untuk kecurangan seperti ini, kami bisa menerapkan tarif antidumping dan safeguard,” kata Putu.
Menurut Putu, ada perangkat lain yang sekarang sering dipakai, yaitu hambatan nontarif.
“SNI, misalnya, harus diterapkan dengan lebih elegan, tidak sekadar menerapkan tanpa tujuan tertentu. SNI harus sejalan dengan peta jalan pengembangan industri,” kata Putu. Jangan sampai mengembangkan dan menerapkan SNI, tetapi ternyata kemudian industri tidak tumbuh dan tetap tidak bisa bersaing.
Kebijakan tingkat kandungan dalam negeri juga merupakan perlindungan nontarif, tetapi lebih kepada pembelanjaan pemerintah. “Jangan P3DN diterapkan tanpa peta jalan sehingga tiap tahun terus meminta perlindungan fasilitas, tetapi tidak ada peningkatan investasi, utilisasi, dan peningkatan tenaga kerja,” kata Putu. Perlindungan jangan hanya kepentingan sesaat, tetapi harus diarahkan pada agenda yang lebih besar.
Kemenperin mencatat ada 352 perusahaan industri baja nasional tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Industri itu menyerap 200.000 tenaga kerja. Kapasitas produksi industri baja nasional sebanyak 14 juta ton per tahun. Kebutuhan baja meningkat dari 7,4 juta ton pada tahun 2009 menjadi 12,7 juta ton pada 2014.
Ekspor baja pada tahun 2014 senilai 2,23 miliar dollar AS atau naik 16,91 persen ketimbang tahun 2013 yang 1,91 miliar dollar AS. Impor baja tahun 2014 senilai 12,58 miliar dollar AS atau turun 0,19 persen dibandingkan dengan tahun 2013 yang 12,6 miliar dollar AS.
Komisaris PT Kayanna Promosi Indonesia Ernst K Remboen menuturkan, Steel Indonesia Expo 2016 akan digelar 7-9 September 2016. Pameran itu akan menampilkan 13 subindustri besi baja mulai bahan baku material, produk besi baja, komponen baja untuk bangunan dan konstruksi, permesinan, hingga produk perbankan pendukung industri. (CAS)
Kompas 05112015 Hal. 18