PALANGKARAYA, KOMPAS — Kebakaran hutan dan lahan rawa gambut, yang rutin terjadi dan kian parah seperti tahun ini, menuntut perubahan mendasar kebijakan. Tanpa itu, kebakaran serupa dipastikan kian parah dan berkelanjutan dengan kerugian lebih besar. Sejumlah provinsi merespons.
Di Palangkaraya, Penjabat Gubernur Kalimantan Tengah Hadi Prabowo mencabut Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Gubernur Kalteng Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah. Pencabutan itu untuk mencegah meluasnya kebakaran lahan pada tahun mendatang.
“Pergub itu dicabut. Dilarang membakar hutan dan lahan,” kata Hadi Prabowo, Senin (2/11) malam. Keputusan itu diambil setelah berkomunikasi dengan masyarakat adat Dayak yang juga telah bertemu Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Palangkaraya, Sabtu lalu.
Ditanya soal solusi yang ditawarkan pemerintah daerah kepada masyarakat, khususnya suku Dayak yang masih menerapkan ladang berpindah dan membakar lahan secara terbatas, Hadi menyampaikan bahwa usulan solusi sedang dibahas dengan pemerintah pusat. “Kami belum bisa menyatakan ini dan itu karena belum disetujui,” katanya.
Peraturan Gubernur Kalteng No 15/2010 dalam Pasal 1 mengubah ketentuan Pasal 3 Pergub Kalteng No 52/2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan bagi Masyarakat di Kalteng. Perubahan itu terkait luasan lahan yang diizinkan dibakar secara terbatas. Pasal 3 Ayat (1) dan (2) menyebut, setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang, yaitu bupati/wali kota.
Pasal 3 Ayat (3) menyebut, ketua RT, lurah/kepala desa, dan camat diberi kekuasaan memberi izin pembukaan lahan dengan cara membakar di bawah 5 hektar. Camat untuk luas lahan di atas 2-5 hektar, lurah/kepala desa untuk luas lahan di atas 1 ha hingga 2 ha, dan ketua RT untuk luas lahan di bawah 1 ha.
Ayat (4) menyebutkan, pemberian izin pembakaran lahan secara kumulatif pada wilayah dan hari yang sama: a. Tingkat kecamatan maksimal 100 ha atau; b. Tingkat kelurahan/desa maksimal 25 ha.
Jumlah luasan lahan pada Pergub 2010 itu lebih luas dibandingkan ketentuan dalam Pergub 2008. Kini, kedua pergub itu dicabut dan tak berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 2 November 2015.
Menanggapi kebijakan itu, Ketua Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah Sabran Achmad menyatakan, pihaknya tidak keberatan asalkan ada solusi konkret bagi masyarakat adat.
“Telah saya sampaikan kepada Bapak Presiden agar orang Dayak diberi sertifikat tanah, tiap keluarga 5 hektar melalui program Dayak Misik. Saya yakin tidak ada lagi asap tahun depan karena mereka tidak lagi mengadakan ladang berpindah dan tidak lagi sengaja membakar hutan,” papar Sabran.
Sabran juga menyampaikan, pemerintah hendaknya menyiapkan bantuan traktor tangan untuk membantu pengolahan lahan serta cairan kimia penghancur semak belukar agar warga tidak lagi membakarnya.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Kalteng Tute Lelo mengatakan, sepanjang 2015, pihaknya telah menyalurkan sekitar 400 traktor tangan bagi petani di seluruh Kalimantan Tengah. “Dibiayai dari APBD dan APBN,” ujarnya.
Tegas dan jelas
Di Pekanbaru, Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau Harris Gunawan menyatakan, selain aturan tegas soal larangan pembakaran lahan, pemahaman terhadap rawa gambut harus dimiliki pemerintah daerah, pengusaha, petani, dan awam.
Rawa gambut merupakan ekosistem unik yang mayoritas berisi air. Pengeringan rawa gambut hanya akan menimbulkan petaka. Seharusnya, kata Harris Gunawan, siapa pun yang membuka rawa gambut untuk perkebunan, sejak awal menyadari risiko kebakaran.
Untuk itu, kesiapan pengusaha atau pemda mencegah kebakaran adalah mutlak. Tidak boleh ada alasan pembenar apa pun, ketika kebakaran terjadi di lahan yang sudah dibuka.
Di Pekanbaru, Pemerintah Provinsi Riau berencana mengevaluasi dan merevisi isi Peraturan Gubernur Riau Nomor 11 Tahun 2014 menyesuaikan kondisi saat ini. Salah satu poin yang akan dibenahi terkait izin pembukaan lahan oleh badan usaha atau penanggung jawab lahan.
“Sesuai arahan Gubernur memang akan ada penyesuaian. Pilihannya revisi, bukan pencabutan karena tak semua isinya bermasalah,” kata Kepala Dinas Kehutanan Riau Fadrizal Labay, di Pekanbaru.
Dalam Pasal 9 Ayat 5 pergub itu disebutkan, izin pembukaan lahan dapat diajukan perseorangan atau badan usaha kepada kepala daerah setempat sesuai luas lahan yang akan dibuka. Untuk lahan dengan luas 0-2 ha, izin dari kepala desa atau lurah harus dikantongi. Pada lahan 2-10 ha butuh izin camat, 10-50 ha atas izin bupati/wali kota, dan lahan di atas 50 ha wewenang gubernur.
Kelemahan dari pasal itu, tidak ada ketentuan spesifik tentang tata cara pembukaan lahan sehingga pembakaran hutan dapat dijadikan pilihan mudah untuk menghemat biaya pembukaan lahan. Di lapangan, 10,6 juta ha konsesi hutan tanaman industri dan sawit tak digarap sehingga rentan dirambah.
Data Dinas Kehutanan Riau, dari 61 perusahaan, baru 22 perusahaan yang dinilai siap melakukan penanggulangan kebakaran lahan dan hutan. Dari 61 perusahaan itu, 58 perusahaan hutan tanaman industri.
Di Jambi, Kepala Dinas Kehutanan Jambi Irmansyah mengatakan, pemprov tidak pernah membolehkan masyarakat membuka lahan dengan membakar. Apabila ada yang tetap membakar, karena dibolehkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di Magelang, Jawa Tengah, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan, polisi menetapkan 265 tersangka pembakar lahan di Sumatera dan Kalimantan. Sebagian di antaranya pelaku perseorangan, sebagian lain perusahaan kelapa sawit. “Jika kasus kebakaran lahan masih terus terjadi, jumlah tersangka mungkin akan bertambah,” ujarnya. (DKA/IAN/DNA/EGI)
Kompas 04112015 Hal. 21