JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dipandang beragam oleh berbagai kalangan. Selain memuat hal yang dinilai positif, beberapa aspek dipandang perlu disesuaikan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi.
“Menurut saya, PP No 78 ini tidak semuanya jelek. Adanya kewajiban membuat struktur dan skala upah, kewajiban memberikan slip upah, keharusan tenaga kerja asing diupah dengan rupiah-bukan dengan mata uang asing-merupakan beberapa hal yang positif dari PP No 78 ini,” kata Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Minggu (1/11).
Meski demikian, menurut Timboel, penentuan kenaikan upah minimum seperti diatur PP No 78/2015 tidak sesuai dengan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan karena menyederhanakan proses, yakni dengan hanya menimbang inflasi dan pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB).
Survei
Timboel mengatakan, seharusnya proses penentuan upah minimum mendasarkan KHL (kebutuhan hidup layak) melalui survei dengan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi seperti diatur dalam UU No 13/2003.
Sebelumnya, Kementerian Tenaga Kerja menyatakan, penggunaan variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi (PDB) nasional-dan bukan inflasi serta pertumbuhan ekonomi daerah- ditujukan untuk menghindarkan terjadinya penurunan upah minimum pekerja saat pertumbuhan ekonomi daerah tersebut minus.
Timboel berpendapat, pemakaian inflasi dan pertumbuhan nasional tersebut tidak obyektif. Dia mencontohkan, inflasi di Belitung 13,5 persen, sedangkan nasional sekitar 6 persen.
“Apabila yang dipakai inflasi nasional, upah riil pekerja di Belitung akan tergerus 7,5 persen. Ini tidak adil. Demikian juga dengan PDB, seharusnya pakai PDRB per wilayah,” kata Timboel.
Mengenai adanya pertumbuhan ekonomi daerah yang minus, menurut Timboel, di situlah peran gubernur setempat menentukan kenaikan upah minimum tersebut.
“Kehadiran upah minimum itu untuk kesejahteraan. Kalau upah minimum tergerus inflasi, upah riil menurun dan daya beli berkurang,” kata Timboel.
Sebelumnya, akhir pekan lalu, Direktur Pengupahan Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja Andriani mengatakan, berdasarkan pengalaman Badan Pusat Statistik di Indonesia maupun luar negeri, yang secara rutin melakukan survei mengenai kebutuhan hidup masyarakat, ditemukan bahwa pola konsumsi masyarakat berubah signifikan setiap periode tertentu.
“Perubahan itu terjadi setiap lima tahun sekali untuk negara dengan kondisi ekonomi dan tingkat kemajuan seperti Indonesia. Untuk negara lebih terbelakang lebih lama lagi perubahannya bisa 7, 8, hingga 10 tahun sekali,” kata Andriani. (CAS)
Kompas 02112015 Hal. 19