JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah belum melakukan penjajakan secara menyeluruh mengenai kemungkinan menjadi anggota pakta Kerja Sama Trans-Pasifik (TPP). Pemerintah masih mencermati perkembangan yang terjadi di dalam TPP karena hingga saat ini belum ada perkembangan yang signifikan.
Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Bachrul Chairi kepada Kompas, di Jakarta, Kamis (29/10), mengatakan, masih belum ada perkembangan signifikan terkait Indonesia dengan TPP. Indonesia belum akan melakukan penjajakan, tetapi hanya persiapan.
TPP baru akan berlaku paling cepat dua tahun lagi. Ada kemungkinan juga penerapan TPP itu akan molor karena ada pihak yang menyatakan TPP akan ditolak Kongres menjelang pemilu Amerika Serikat sehingga akan diajukan setelah pemilu.
“Salah satu persiapannya adalah melakukan kajian TPP. Kajian itu meliputi dua aspek, yaitu aspek legal yang harus disesuaikan dengan isi perjanjian TPP dan potensi pasar, khususnya apa yang akan Indonesia targetkan,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sanny Iskandar mengemukakan, bergabung dalam TPP membutuhkan pertimbangan, perencanaan, dan upaya konkret yang matang. Salah satunya adalah perkuatan di sektor industri berbasis manufaktur yang saat ini struktur industrinya masih lemah.
Pemerintah harus mempunyai komitmen kuat membangun struktur industri nasional. Saat ini, industri nasional masih belum mampu menyediakan bahan baku dan penolong sehingga harus impor.
“Industri nasional juga masih mengalami berbagai persoalan di sektor biaya produksi, misalnya biaya energi, suku bunga bank, logistik, dan buruh. Ini semua perlu dibenahi dulu agar industri nasional kuat. Hal itu dilakukan, misalnya, melalui investasi di sektor industri penyediaan bahan baku yang selama ini masih diimpor,” ujarnya.
Menurut Sanny, di sisi lain TPP menguntungkan. Akses pasar Indonesia akan terbuka lebar. Jika tidak dimanfaatkan, akses pasar ini akan direbut negara-negara pesaing yang sudah bergabung TPP, seperti Vietnam, Malaysia, dan Brunei.
Negara-negara tersebut mempunyai produk unggulan ekspor yang kurang lebih sama dengan Indonesia. Dengan bergabung dalam TPP, produk-produk negara-negara tersebut akan lebih berdaya saing karena salah satunya mendapatkan tarif bea masuk nol persen.
“Memang tidak bisa dimungkiri, ke depan TPP menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor. Untuk itu perlu ada pembenahan dan perkuatan industri dan sektor-sektor lain yang selama ini menjadi ketakutan Indonesia bergabung dalam TPP,” ujarnya.
Di tempat terpisah, ekonom Bank Danamon Dian Ayu Yustina menuturkan, pakta perdagangan selalu disertai dengan penghapusan tarif atau bea masuk. Kerja sama TPP diperkirakan juga termasuk pakta perdagangan dengan standar yang cukup tinggi.
“Dengan standar yang cukup tinggi itu, Indonesia hanya akan bisa bergabung kalau ada perubahan mendasar pada struktur industri di dalam negeri seperti meningkatkan efisiensi. Kesiapan menghadapi persaingan juga masih akan disertai dengan berbagai pertentangan, terutama dari pelaku usaha di dalam negeri,” kata Dian.
Jika ingin bergabung dengan TPP, Indonesia masih memiliki waktu untuk mendorong perbaikan pada struktur industri manufaktur.
“Jika semua upaya berjalan lancar, kita mungkin perlu waktu selama lima tahun ke depan agar kinerja ekspor bisa bagus lagi. Apalagi, kita juga perlu bersaing dengan negara-negara tetangga yang juga bergabung ke TPP. Jadi, kesiapan itu tergantung bagaimana Indonesia mengatasi persoalan-persoalan yang mendasar itu atau tidak,” ujar Dian.
Kalaupun akhirnya tidak bergabung dengan TPP, Indonesia akan menghadapi persoalan daya saing karena produk kita masih dikenai bea masuk. (HEN/AHA)
Kompas 30102015 Hal. 17