JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perdagangan perlu mempertimbangkan masukan-masukan dari asosiasi terkait penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 87 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu. Evaluasi dan revisi regulasi tersebut juga diperlukan guna melindungi industri, investasi, dan konsumen di dalam negeri.
Mantan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyatakan hal itu kepada Kompas, Selasa (27/10). Pernyataan itu terkait keberatan tujuh asosiasi kosmetik, alas kaki, tekstil dan produk tekstil, elektronik, obat tradisional, makanan dan minuman, serta mainan anak-anak terkait Permendag No 87/2015. Mereka mempersoalkan penghapusan verifikasi impor kosmetik dan pemberian wewenang impor secara penuh kepada importir umum pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-U).
Menurut Rachmat, penghapusan verifikasi kosmetik membuka peluang kosmetik impor masuk. Harga yang murah dan kualitas rendah bisa melemahkan daya saing kosmetik dalam negeri dan membahayakan konsumen.
Hal serupa bisa terjadi dengan produk elektronik. Importir umum bisa mengimpor produk jadi elektronik berkualitas rendah dan harga lebih murah daripadah produk dalam negeri. “Apabila elektronik produksi dalam negeri kalah bersaing, industri elektronik yang menyerap banyak tenaga kerja bisa tumbang. Investasi juga akan tersendat,” ujarnya.
Rachmat, yang juga Presiden Komisaris PT Panasonic Gobel Indonesia, mengaku khawatir terjadi perubahan perilaku para pengusaha. Mereka akan memilih menjadi importir umum dan trader ketimbang berinvestasi membuka pabrik. Rachmat juga mengingatkan bahwa peredaran produk elektronik ilegal dan berkualitas rendah di pasar domestik meningkat, dari 50 persen menjadi 60 persen dari total peredaran elektronik.
Sementara dalam kegiatan sosialisasi pengawasan barang beredar yang digelar Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kemendag di Pasar Kenari, Jakarta, terungkap data tangkapan impor ilegal elektronik. Pada 2014, Bea dan Cukai menangani 96 kasus impor ilegal elektronik senilai Rp 41,60 miliar. Kemudian pada 2015 meningkat menjadi 129 kasus senilai Rp 74,67 miliar.
Direktur Penindakan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea Cukai Harry Mulya mengatakan, produk itu masuk dari perbatasan Indonesia dengan Malaysia dan Singapura di Sumatera. Tidak hanya produk elektronik yang masuk, tetapi juga beras, gula, dan pakaian bekas.
“Bersama Polri dan TNI, kami menyiagakan 20 kapal patroli di wilayah itu untuk mencegah masuknya barang ilegal di pelabuhan-pelabuhan tikus,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu pula, Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kemendag Widodo meminta kepada para pedagang dan pengecer produk impor menjadi pengawas produk yang diperdagangkan. Mereka bisa mengecek kelengkapan dan persyaratan produk yang diperdagangkan.
“Pengecer harus lebih cerdas daripada pemasok dan distributor. Pemasok dan distributor juga harus lebih cerdas daripada pengimpor dan produsen,” ujarnya. Widodo mencontohkan, pedagang dan distributor bisa meminta fotokopi sertifikat produk penggunaan tanda standar nasional Indonesia dari produsen atau importir. (HEN)
Kompas 28102015 Hal. 17