LUMAJANG, KOMPAS — Pengalihan wewenang pengelolaan dan pengawasan kegiatan pertambangan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi memperlemah pengendalian dampak aktivitas pertambangan serta meningkatkan risiko kerusakan lingkungan.
Di sisi lain, tuntutan agar pemerintah melakukan moratorium perizinan dan kegiatan pertambangan semakin menguat. Terbunuhnya petani penolak tambang di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Salim alias Kancil, 26 September lalu, terjadi karena lambatnya pemerintah menangani konflik akibat penambangan ilegal pasir besi di Pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar.
Pemerintah Kabupaten Lumajang menyatakan tidak berwenang mengawasi kegiatan pertambangan.
Kepala Bagian Ekonomi Kabupaten Lumajang Ninis Rindhawati menyatakan, Pemerintah Kabupaten Lumajang telah menyerahkan wewenang pengelolaan kegiatan pertambangan di Lumajang kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada 11 dan 12 Februari 2015. Penyerahan wewenang kepada Pemprov Jatim sesuai amanat Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Akan tetapi, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemprov Jatim memiliki keterbatasan dalam pengawasan kegiatan pertambangan di seluruh wilayahnya. Kepala Dinas ESDM Pemprov Jatim Dewi J Putriatni menyatakan, pihaknya kekurangan inspektur tambang untuk mengawasi kegiatan tambang.
Tuntut moratorium
Di pihak lain, tuntutan moratorium perizinan dan kegiatan pertambangan pasir besi menguat. Senin (12/10), misalnya, ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Republik Mahasiswa Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang berunjuk rasa. Bupati Lumajang As’at Malik yang menemui para pengunjuk rasa di kantornya disodori surat pernyataan yang menyatakan persetujuan untuk menutup aktivitas pertambangan pasir besi di pesisir selatan Lumajang.
Namun, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menolak wacana moratorium. Hal itu tidak mungkin karena pembangunan membutuhkan pasir. Jatim memasok pasir bagi proyek-proyek pembangunan yang tidak bisa dihentikan. “Kalau pasokan pasir dibatasi, lalu dari mana pasir didapat?” kata Soekarwo di Surabaya.
Penghapusan wewenang bupati/wali kota untuk menerbitkan izin tambang melalui UU Pemerintahan Daerah dinilai tidak akan menyelesaikan kekacauan dan tumpang tindih izin pertambangan yang diwariskan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Undang-undang terakhir inilah yang memberikan wewenang perizinan tambang kepada bupati atau wali kota, membuat jumlah izin tambang melonjak dari sekitar 3.000 izin (2009) menjadi 10.926 konsesi. Izin pertambangan yang diterbitkan bupati atau wali kota berkontribusi terhadap kekacauan dan tumpang tindih wilayah konsesi tambang.
Hasil Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi di sektor mineral dan batubara tahun 2014 menemukan sekitar 1,3 juta hektar izin tambang berada dalam kawasan hutan konservasi, sementara 4,9 juta hektar konsesi tambang lainnya berada dalam kawasan hutan lindung.
Pemantauan kegiatan tambang di 12 provinsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi juga menunjukkan potensi kerugian penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 15,9 triliun per tahun, karena 1.052 kegiatan pertambangan di kawasan hutan Sumatera, Kalimantan, dan Papua dilakukan tanpa prosedur pinjam pakai. (Dokumen Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam)
Aliran dana
Uang hasil penambangan pasir liar di Desa Selok Awar-Awar dinikmati banyak pihak. Kepala Desa Selok Awar-Awar Hariyono, sebagai saksi dalam lanjutan sidang disiplin terhadap tiga polisi yang diduga menerima uang gratifikasi di desa tersebut, Senin (12/10), di Markas Kepolisian Daerah Jatim, Surabaya, mengungkapkan, selain mengalir ke polisi, uang itu juga diberikan kepada anggota TNI, anggota DPRD Lumajang, petugas Perhutani, Camat Pasirian, pendamping Lembaga Masyarakat Desa Hutan, dan wartawan.
“Kami bermitra baik dengan anggota Muspika dan saya memberikan uang itu dengan ikhlas tanpa paksaan,” kata Hariyono.
Harmoko, pengurus alat berat tambang, mengatakan, di area tambang Watu Pecak, setiap hari beroperasi sekitar 100 truk. “Setiap truk dipungut Rp 270.000 sehingga terkumpul sekitar Rp 27 juta setiap hari,” kata Harmoko. Uang itu kemudian dibagikan kepada banyak pihak di Jawa Timur.
(ODY/ACI/ROW/DIA/NIK/ETA/DEN/SAN/AGE)
Kompas 13102015 Hal. 1