Legislasi : Hentikan Rencana Revisi UU KPK

JAKARTA, KOMPAS — Saat ini bukan waktu yang tepat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain dapat menjadi bola liar yang akan melemahkan dan bahkan mematikan KPK, revisi itu juga akan melangkahi pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sedang berlangsung di DPR.

Revisi UU KPK, menurut pengajar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, seharusnya baru dilakukan setelah DPR dan pemerintah selesai membahas revisi RUU KUHP, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), dan revisi atas Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
“Selesaikan dulu fondasi sistem hukum pidana yang sedang disusun, yaitu RUU KUHP dan RUU KUHAP. Jika tidak, undang-undang terkait hukum pidana kita akan terus berubah dan hanya bersifat tambal sulam,” kata Akhiar, Senin (12/10).
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa juga pernah menyatakan, semua fraksi di komisinya sepakat mendahulukan pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP. Revisi UU KPK baru dibahas setelah pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP selesai dilakukan (Kompas, 18/6).
Saat ini, fraksi-fraksi di Komisi III masih dalam tahap menyusun usulan daftar inventarisasi masalah RUU KUHP yang akan dibahas bersama oleh DPR dengan pemerintah.

Tidak cukup

Menurut Akhiar, langkah DPR memperbaiki isi draf RUU KPK tidak cukup untuk membenahi sistem penegakan hukum pidana secara menyeluruh.
Hal ini disampaikan karena sejumlah fraksi di DPR tetap berniat melanjutkan rencana merevisi UU KPK, tetapi dengan terlebih dahulu memperbaiki isi draf RUU KPK.
Masinton Pasaribu, salah satu anggota DPR dari Fraksi PDI-P yang mengusulkan agar revisi UU KPK dilakukan tahun ini dan jadi inisiatif DPR, menuturkan, kini, sudah ada naskah akademik RUU KPK yang disusun lintas fraksi di DPR. Di naskah akademik itu, ada sejumlah poin yang berbeda dengan draf RUU KPK yang beredar di rapat pleno Badan Legislasi DPR, 6 Oktober lalu.
Di naskah akademik itu, tidak ada lagi ketentuan KPK akan bubar sejak revisi UU KPK secara resmi diundangkan. “Pembatasan bukan berdasarkan waktu, melainkan kinerja tiap lembaga penegak hukum,” kata Masinton.
Ketentuan dalam Pasal 13 draf RUU KPK bahwa komisi itu hanya dapat mengusut kasus yang merugikan negara di atas Rp 50 miliar juga akan dievaluasi.
Namun, sejumlah ketentuan di draf RUU KPK yang beredar 6 Oktober lalu, seperti pemberian kewenangan bagi KPK untuk memberikan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan adanya Dewan Pengawas KPK, tetap dipertahankan.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut B Pandjaitan, kemarin, seusai rapat terbatas di Kantor Presiden, mengatakan, “Presiden tidak mau kalau sampai ada pelemahan KPK. Presiden menginginkan KPK tetap sebagai badan yang bisa menindak dengan kuat.”
Pemerintah, lanjut Luhut, menginginkan KPK sebagai organisasi tengah. Maka, dalam operasionalnya, KPK membutuhkan lembaga pengawas yang anggotanya bisa ditunjuk pemerintah. Terkait kewenangan penyadapan, juga ada usulan dapat dilakukan setelah ada bukti orang itu terlibat korupsi.
Hal lain yang menjadi pemikiran pemerintah adalah keterlibatan penyidik independen. Menurut Luhut, usulan itu dapat dibenarkan selama kualitas kerjanya dapat dipertanggungjawabkan. (COK/OSA/AGE/NDY)
Kompas 13102015 Hal. 1

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.