RUU JPSK Perlu Atur Blanked Guarantee

JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) perlu memasukkan klausul terkait penjaminan dana nasabah secara penuh ( blanked guarantee ), dan mengatur penetapan bank berdampak sistemik ( systemically important bank ) dalam kondisi tidak normal. Peran presiden juga perlu diperkuat dalam pengambilan keputusan terkait stabilitas keuangan.
Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom menuturkan, blanked guarantee penting untuk dimasukkan sebagai salah satu klausul dalam RUU JPSK. Pasalnya, menurut dia, blanked guarantee merupakan landasan yang penting dan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan terkait penyelamatan bank dalam kondisi ekonomi tidak normal.
“Blanked guarantee akan sangat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan penyelamatan bank. Saat blanked guarantee tidak disetujui, maka tidak ada pilihan selain penyelamatan,” ujarMiranda dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR terkait RUU JPSK di Jakarta, Rabu (7/10).
Namun, menurut dia, yang terpenting dari kebijakan blanked guarantee adalah menghindari terjadinya moral hazard. Dalam situasi normal menurut dia, blanked guarantee dapat menimbulkan moral hazard. Untuk itu, penerapanblanked guarantee harus diatur agar hanya dilakukan dalam kondisi krisis atau tidak normal.
Selain itu, RUU JPSK belum secara baik menjelaskan sistem penentuan bank yang masuk dalam kelompok bank yang berdampak sistemik atausystemically important bank (SIB) dalam keadaan tidak normal. Padahal, menurut Miranda, ketika terjadi krisis, bank kecil atau tidak memilik aset yang terlalu besar dan interkoneksi yang luas tetapi banyak mempengaruhi pasar uang antarbank (PUAB) yang bisa mempengar uhi secara sistemik.
“Ada pasal terkait pengkinian data SIB harus melalui KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) ini memperlama. Padahal, dalam situasi tertentu dibutuhkan kecepatan dalam pengambilan keputusan. Harus ada penentuan SIB dalam keadaan tidak normal dan ketika otoritas diberi kewenangan itu tidak boleh ada yang berargumentasi,” terang dia.
Pada kesempatan itu, mantan Wakil Presiden Boediono juga berpendapat blanked guarantee sebaiknya hanya dikeluarkan dalamkondisi tidak normal guna menghindari moral hazard. Dia pun menilai, SIB seperti yang termuat dalam RUU JPSK saat ini belum cukup. Pasalnya, dalam kondisi tidak normal sumber krisis tidak hanya dapat terjadi pada bank-bank besar tetapi dapat berasal dari bank yang beraset sedang atau menengah, bahkan bank kecil.
“Lebih baik diberikan protokol yang memberikan kemungkinan-kemungkinan (penanganan bank). Jangan sampai RUU ini mengatur secara detail dan justru membuat otoritas tidak mau mengambil keputusan,” terang dia.
Dalam situasi ekonomi tidak normal, menurut Boediono, dibutuhkan keputusan yang cepat guna mengantisipasi terjadinya pemburukan lebih lanjut. Untuk itu, menurut dia, jika terjadi ketidaksepakatan antara anggota KSSK tetap harus dicari jalan keluar dan diambil keputusan melalui mufakat ataupun voting. “Harus ada keputusan, kalau KSSK tidak bisa ambil keputusan, mungkin diserahkan kepada Presiden,” terang dia.
Mantan Wakil Ketua BPK Hasan Bisri juga mengungkapkan, dalam RUU JPSK terdapat risiko tidak ada keputusan dalam rapat KSSK. Dalam RUU tersebut, menurut dia, pengambilan keputusan hanya dilakukan jika seluruh pihak memberikan persetujuan. “Kalau tidak disepakati semua, itu bisa jadi tidak ada keputusan. Padahal, bisa saja ada satu atau dua anggota yang tidak setuju. Ini trauma karena keputusan KSSK pernah dipermasalahkan,” ungkap dia.
Menurut Hasan, seharusnya peran presiden dalam RUU JPSK diperkuat. Keputusan kondisi tidak normal atau darurat ekonomi, misalnya, perlu ditetapkan oleh presiden berdasarkan rekomendasi KSSK. “Dalam RUU JPSK ini peran presiden hanya sedikit, hanya menaikkan jumlah simpanan yang dijamin,” tambah dia.
Investor Daily, Kamis 8 Oktober 2015, Hal. 22

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.