JAKARTA, KOMPAS — Salah satu penyebab masih mahalnya biaya logistik di Indonesia adalah regulasi yang mengatur logistik belum harmonis. Ketidakharmonisan ini disebabkan banyak lembaga yang menangani logistik dan adanya ego sektoral antarlembaga. Akibatnya, biaya logistik menjadi mahal dan waktu mengurus logistik lama.
“Sudah waktunya dilakukan harmonisasi regulasi agar daya saing logistik kita menjadi meningkat. Selama ini, pemeriksaan barang saja dilakukan beberapa kali. Ini merugikan secara waktu dan biaya bagi pengusaha truk,” kata Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi saat membuka Rapat Pimpinan Pusat I ALFI, di Jakarta, Selasa (6/10).
Berdasarkan data di Bank Dunia, biaya logistik di Indonesia masih mencapai 24,6 persen dari PDB. Kalau dengan biaya domestik untuk logistik dan transportasi bisa mencapai 30-31 persen.
“Hingga kini, belum ada satu pun kementerian yang bertanggung jawab secara penuh terhadap logistik. Sedikitnya ada tiga kementerian yang terkait soal logistik, yakni Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika,” kata Yukki.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional, lanjut Yukki, hingga kini belum ada kelanjutannya. “Memang harus disesuaikan lagi penerapannya terhadap nomenklatur yang ada sekarang. Namun, harus dimulai kelanjutan dari perpres tersebut,” kata Yukki.
Dalam lampiran Perpres No 26/2012 disebutkan, logistik adalah bagian dari rantai pasok (supply chain) yang menangani arus barang, arus informasi, dan arus uang melalui pengadaan, penyimpanan, transportasi, distribusi, dan pelayanan pengantaran sesuai dengan jenis, kualitas, jumlah, waktu, dan tempat yang dikehendaki konsumen secara aman, efektif, dan efisien, mulai dari tempat asal sampai dengan tempat tujuan.
Deputi Bidang Koordinator Perdagangan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Edy Putra Irawady mengatakan, pemerintah terus berupaya menghilangkan beban-beban biaya logistik. “Salah satu yang dideregulasi adalah insentif fiskal untuk angkutan, pembuatan gudang Pusat Logistik Berikat, dan membenahi pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai utara dan timur Sumatera yang disebut pelayaran laut dangkal. Kemudian, yang dikejar lagi, efisiensi logistik di wilayah utara untuk melayani Pasifik, yaitu di Bitung. Dari sana akan dilayani ekspor ikan ke Tanjung Pelapas dan Darwin,” katanya.
Menurut Edy, sudah waktunya Indonesia melompat dalam memperbaiki logistik melalui peningkatan sumber daya manusia. Pemerintah sedang membangun sekolah akademi komunitas logistik di Sumatera Utara dan Bitung. Selain itu, ada juga sekolah logistik di Bandung, yakni di bawah PT Pos Indonesia dan di bawah ITB. “Tenaga SDM yang berkualitas akan menjadi masa depan kita karena Indonesia adalah negara logistik,” kata Edy.
Mengenai perizinan usaha logistik bidang ritel, Edy menjelaskan, pengurusannya sekarang dibuat terpusat di Kementerian Komunikasi dan Informatika serta dibuat dalam jaringan.
“Memang, ada banyak perizinan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha logistik. Oleh karena itu, kami berupaya memangkasnya. Selain izin usaha, masih ada juga izin angkutan, izin bongkar muat, dan sebagainya,” kata Edy.
Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan dan Perhubungan Internasional Chris Kanter, pemerintah harus segera bergerak karena saat ini perdagangan dalam jaringan tumbuh sangat pesat.
“Jika peran logistik nasional tidak dikuatkan, bukan tidak mungkin perusahaan-perusahaan logistik dunia berbondong-bondong masuk ke Indonesia. Mereka yang mempunyai teknologi dan modal yang lebih kuat bisa mengambil kue logistik Indonesia,” katanya. (ARN)
Kompas 07102015 Hal. 17