JAKARTA, KOMPAS — Golden Agri-Resources Ltd, yang merupakan bagian dari Grup Sinar Mas, menghentikan pembelian 200.000 ton minyak sawit dari pemasok yang merusak hutan untuk mengakselerasi produk minyak sawit lestari Indonesia agar lebih kompetitif di pasar dunia. Tuntutan pasar terhadap produk minyak sawit lestari tidak bisa diabaikan jika Indonesia terus ingin menjadi pemain utama sawit global.
Managing Director Golden Agri-Resources Ltd (GAR) Agus Purnomo, Senin (5/10), di Jakarta, mengatakan, saat ini, ada 5 sampai 6 perusahaan perkebunan dan pengolahan sawit yang tidak bisa lagi menjual produk mereka ke GAR.
Penghentian pembelian minyak sawit dari perusahaan itu dilakukan bertahap mulai Mei hingga Agustus 2015. “Ini bukan main-main. Dengan memutus pembelian 200.000 ton, input sawit ke perusahaan berkurang, begitu juga dengan output-nya. Ini juga mengurangi pendapatan perusahaan, tetapi ini komitmen yang harus dilakukan,” kata Agus.
Pihaknya, lanjut Agus, tidak melakukan pemutusan pembelian minyak sawit dari pemasok secara sepihak. Namun, proses pemutusan itu dilakukan melalui 2 hingga 4 kali pertemuan. “Jauh-jauh hari kami sudah menyampaikan kepada mereka agar mereka hanya menjual minyak sawit yang dihasilkan dari praktik perkebunan sawit yang mengadopsi prinsip lestari. Namun, mereka tidak punya niat baik,” katanya.
Mereka terus membandel dan terus menebang hutan untuk memperluas perkebunan sawit mereka. “Kami meminta mereka menghentikan praktik deforestasi, tetapi hanya iya-iya saja dan tidak dijalankan,” katanya.
GAR terus memantau di lapangan dengan satelit yang bisa dilihat bersama. Kenyataannya, penebangan hutan masih dilakukan. Karena sudah tidak bisa lagi diingatkan dan tidak ada niat baik, kontrak pembelian diputus. Tidak ada sengketa masalah akibat keputusan itu. Mereka juga mengakui merusak hutan. Mereka tidak menolak atau mempersoalkan.
Yang selalu dipersoalkan bahwa mereka mengatakan sudah mendapat persetujuan dari pemerintah untuk memanfaatkan areal penggunaan lain (APL) menjadi perkebunan sawit. Namun, pemerintah juga tidak mengeluarkan izin resmi untuk pemanfaatan lahan APL bagi perkebunan sawit.
“Volume ekspor minyak sawit kita sekali kirim 600.000 sampai 700.000 ton. Pasar menginginkan produk minyak sawit lestari. Kalau kita tidak sanggup memenuhi, nanti tidak ada yang mau beli,” kata Agus.
Perusahaan bersertifikat
Dari 6 perusahaan perkebunan sawit yang diputus kontrak penjualannya, ada perusahaan memiliki kebun dan pabrik pengolahan sawit di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Bahkan, ada perusahaan pengolahan sawit yang bersertifikat melalui anak perusahaan membuka kebun sawit baru di hutan Papua.
Agus memastikan penghentian pembelian minyak sawit 200.000 ton bukan berasal dari petani, tetapi dari pengusaha skala menengah.
GAR merupakan 1 dari 5 perusahaan sawit Indonesia yang tergabung dalam Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP). IPOP saat ini menguasai 80 persen pasar ekspor minyak sawit Indonesia. Produksi minyak sawit Indonesia per tahun 30 juta ton. Dari jumlah itu, 22 juta ton diekspor.
Direktur Eksekutif IPOP Nurdiana Darus mengatakan, pihaknya tidak tahu berapa banyak perusahaan lain yang tergabung dalam IPOP yang menghentikan pembelian dari pemasoknya yang melanggar prinsip lestari. Setiap perusahaan mempunyai cara sendiri. Namun, komitmen terhadap pengembangan minyak sawit lestari sama seperti yang sudah diikrarkan.
Ghana tengah mengembangkan kebun sawit dan mereka langsung menyatakan akan belajar dari kesalahan Indonesia. Negara-negara Amerika Latin dan India juga mulai mengembangkan. “Kalau kita tidak waspada bisa kehilangan devisa dari ekspor sawit,” kata Nurdiana.
Jika Indonesia tidak bisa keluar dari stigma bahwa minyak sawit Indonesia merusak hutan, sawit Indonesia akan terus menjadi bulan-bulanan. Sekarang ini, ada 400.000 petani yang masuk dalam rantai pasok tandan buah segar (TBS) ke IPOP. “Tahun depan akan akselerasi untuk bantu petani,” katanya. (MAS)
Kompas 06102015 Hal. 18