JAKARTA, KOMPAS — Pemangkasan dan kemudahan izin pelepasan kawasan hutan dikhawatirkan memperberat ancaman kerusakan seiring rencana pemilihan serentak 269 kepala daerah pada Desember 2015. Tanpa kemudahan izin pun, kawasan hutan dan sumber dayanya jadi “komoditas” transaksi politik. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan diminta mempertimbangkan potensi itu.
“Telah jadi tren bahwa setahun sebelum pilkada dan setahun setelah terpilih, jumlah izin yang diterbitkan meningkat. Hutan sejak lama menjadi mesin ATM politik. Tanpa kemudahan dan percepatan saja, deforestasi sudah sangat tinggi,” kata Timer Manurung, pendiri LSM Auriga yang bergerak di isu pelestarian lingkungan dan sumber daya alam, Senin (5/10) di Jakarta.
Contoh studi London School of Economics (LSE, 2011) menunjukkan, peningkatan jumlah pemekaran wilayah administratif pemerintahan memicu percepatan laju deforestasi. Dari analisis citra satelit, setahun sebelum dan sesudah pilkada, pembalakan masif terjadi di kawasan hutan yang dapat dikonversi.
“Jelang pilkada, izin melonjak. Perhitungan kasarnya, tiap seribu hektar, mereka keluarkan Rp 1 miliar. Menggiurkan di tengah perilaku koruptif dan politik transaksional,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Di sisi perubahan iklim, percepatan pengurusan izin pelepasan kawasan hutan menjadi 12-15 hari berlawanan dengan komitmen Indonesia menurunkan emisi dari sektor lahan. Dalam dokumen resmi nilai rujukan emisi kehutanan Indonesia (forest reference emission level/ FREL) yang menggunakan acuan data 1990-2012, deforestasi di Indonesia tak boleh mencapai 900.000 hektar per tahun jika ingin emisi gas rumah kaca (GRK) sektor itu turun.
Menurut Timer Manurung, izin pelepasan kawasan hutan perlu rekomendasi bupati dan gubernur. Jika mereka telah memberi rekomendasi dan persetujuan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan susah menolaknya.
Seharusnya rekomendasi dari daerah pun harus diversifikasi kebenarannya. Proses verifikasi lapangan itu butuh waktu. Pengalaman menunjukkan, rekomendasi diberikan hanya dengan pertimbangan kepentingan ekonomi jangka pendek, belum menghitung dampak pada lingkungan dan sosial masyarakat setempat.
Bantah konversi
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nur Masripatin mengatakan, percepatan perizinan tak berarti mempercepat konversi hutan.
“Proses perizinan lebih cepat tidak serta-merta membawa konsekuensi percepatan pelepasan kawasan hutan. Dengan catatan proses dilakukan baik,” kata Nur Masripatin di sela konferensi pers Indonesia Climate Alliance- Climate Week, 6-9 Oktober 2015 di Jakarta.
Ia mengatakan, Direktorat Jenderal Planologi dan Tata Ruang telah menyiapkan kriteria, indikator, dan peruntukan kebutuhan lahan.
“Dari situ Ditjen Planologi dan Tata Ruang mengendalikannya. Waktu 12-15 hari itu terlalu cepat apabila masih ada yang perlu diklarifikasi,” katanya.
Nur Masripatin juga mengatakan, rata-rata deforestasi di Indonesia tidak boleh melebihi 918.678 hektar per tahun jika ingin menurunkan emisi dari sektor lahan.
“Kami terus berkomunikasi (dengan Ditjen Planologi dan Tata Ruang) karena data tutupan hutan dan perubahannya di situ,” kata mantan Deputi Badan Pengelola REDD+ itu
Di Indonesia, saat ini terdapat sekitar 18 juta hektar kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Pada bagian itulah pemerintah ingin mempercepat proses perizinan pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi dengan mengubah Peraturan Menteri Kehutanan P.33/ Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi juncto Permenhut P.28/Menhut-II/2014. Kemudahan juga dilakukan dengan menyederhanakan proses perizinan seperti izin pinjam pakai.
Deregulasi 14 izin menjadi enam izin di sektor kehutanan itu menjadi bagian dari paket ekonomi II yang ditawarkan pemerintah dan direalisasikan pekan kedua Oktober 2015. Tujuannya adalah meningkatkan investasi di bidang kehutanan, perkebunan, dan industri tambang mineral. (ICH).
Kompas 06102015 Hal. 14