JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengusulkan pemberlakuan bea masuk anti dumping sementara (BMADS) impor baja. BMADS bertujuan mengantisipasi secara cepat perdagangan tidak adil, terutama dengan negara tetangga, dan pengamanan sementara industri dalam negeri.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin Harjanto menyatakan, dengan BMADS, eksportir baja dari negara tetangga harus membayar bea masuk (BM) tambahan yang ditentukan pemerintah. BM tambahan akan dikembalikan ke eksportir jika dalam penyelidikan tidak terbukti melakukan dumping.
“Kami mengusulkan dibentuk badan yang bisa mengumpulkan BMADS ini,” ujar Harjanto di Jakarta, Selasa (28/4).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor besi dan baja mencapai US$ 2,006 miliar pada kuartal I tahun ini, turun 3,3% dibanding periode sama tahun lalu sebesar US$ 2,07 miliar. Ekspor besi dan baja pada periode itu naik 41% menjadi US$ 281 juta.
Sementara itu, rencana penaikan BM untuk most favored nations (BM MFN) produk baja dan olahannya menjadi 15% dari sebelumnya 0-5% telah disepakati Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Namun, BKF masih membutuhkan surat resmi dari Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin.
Penaikan BM impor baja MFN diharapkan bisa mendongkrak pemanfaatan kapasitas produksi terpasang (utilisasi) industri baja yang saat ini tinggal 40-50%. Setelah penaikan BM baja impor, Kemenperin berencana mendorong penggunaan baja lokal dalam proyek pemerintahmaupun nonpemerintah melalui Program Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN).
“Menperin sudah menyiapkan surat untuk kementerian dan lembaga untuk memastikan penggunaan produk dalam negeri bisa dilaksanakan baik di tingkat pusat maupun daerah, baik APBN atau non-APBN. Kami berharap berbagai upaya yang dilakukan pemerintah bisa memberikan ruang gerak bagi industri baja yang sangat memerlukan dukungan pemerintah,” ujar Harjanto.
Dia menyatakan, meski baja impor dari Tiongkok yang membanjiri pasar domestik masih dikenakan tarif BM 0%, penaikan BMMFNbakal mengurangi impor baja dari Eropa Timur, Amerika Selatan, dan India.
“Saat ini, porsi impor baja MFN dan non-MFN 50:50. Biarpun impor yang non-MFN masih sulit dikurangi, kita tetap bisa memantau dan lebih selektif, terutama untuk produk yang tidak bisa diproduksi dalam negeri,” ujar Harjanto. Kemenperin, kata dia, keberpihakan pada industri dalam negeri ini dapat meningkatkan daya saing.
Kemenperin mengusulkan kenaikan BM secara merata demi menghindari peluang pelarian tarif, termasuk untuk jenis produk baja yang belumbisa diproduksi di Indonesia.
“Kalau tarif dibuat up and down, bisa dijadikan peluang pelarian tarif. Jadi pagar yang dibagun hampir sama, sehingga tidak bisa jadi tempat pelarian,” ujar Harjanto.
Sebelumnya, industri baja nasional melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadapp 25% karyawan. Total karyawan industri baja sekitar 100 ribu orang, sehingga karyawan yang terkena PHK sekitar 25 ribu orang
TKDN Migas
Di sisi lain, produsen baja meminta pemerintah melakukan pengawasan lebih intens terhadap tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dalam proyek pengadaan pipa baja di industri minyak dan gas (migas). Hal ini sejalan dengan program pemerintah untuk pencapaian TKDN dengan memaksimalkan penggunaan produk dalam negeri dalam mendukung industri nasional.
Komisaris PT Krakatau Steel (KS) Tbk Roy EManingkas mengungkapkan, pengawasan ini perlu dilakukan kepada perusahaan pemilik proyek maupun kepada calon penyedia barang dan jasa, sehingga penggunaan produk dalam negeri dapat terus.
”Sangat disayangkan demand baja domestik yang seharusnya cukup untukmenggerakkan industri baja nasional justru dinikmati oleh produsen baja luar negeri. Penyebabnya adalah kurang berpihaknya perusahaan-perusahaan pemilik proyek kepada industri baja dalam negeri,” kata dia.
Roy menuturkan, pemerintah perlu melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap TKDN dari para penyedia barang dan jasa di industri minyak dan gas, khususnya pada kontraktor kontrak kerja sama (K3S), mulai dari proses tender hingga tahapan implementasi. Dengan adanya pemeriksaan yang mendalam terhadap TKDN, akan menciptakan persaingan yang sehat diantara penyedia barang dan jasa.
Diamencontohkan, seperti yang terjadi di salah satu K3S, PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), perusahaan yang selama ini dikenal sebagai K3S yang mendukung penggunaan produk dalam negeri. Dalam pelaksanaan tender pengadaan pipa baja baru-baru ini, Chevron telah mengizinkan salah satu pabrikan pipa peserta tendernyamenggunakan bahan baku baja HRC impor. Adapun pabrikan pipa baja dalam negeri peserta tender lainnya masih konsisten menggunakan bahan baku baja HRC lokal.
“Dengan diperbolehkannya penggunaaan bahan material baja (HRC) impor akan sangat merugikan produsen baja dalam negeri. Atas kondisi ini, perlu dilakukan penundaan proses tender pipa baja di Chevron,” ungkap Roy.
Menurut dia, industri baja nasional saat ini benar-benar dalam kondisi berat. Serbuan baja impor yang membanjiri pasar domestik telah menekan harga baja dan mengakibatkan produsen baja nasional sulit bersaing.” Kondisi ini akan terus berlanjut jika tidak segera dilakukan pengawasan terhadap implementasi ketentuan tentang P3DN,” tutur Roy.
Investor Daily, Rabu 29 april 2015, Hal. 18