Konversi ke Gas Makin Mendesak

Pemerintah harus membangun infrastruktur secara masif dalam memenuhi kebutuhan energi gas yang lebih murah dan bersih.
KEBIJAKAN gas nasional sebagai komoditas strategis harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi.Ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan utama, yakni pasokan dan kebutuhan, infrastruktur, harga, serta regulasi.
Pengamat energi Darmawan Prasodjo mengemukakan selama ini produksi gas cenderung masih menjadi komoditas ekspor.Padahal sejak 2004, di saat harga minyak mulai jauh lebih mahal daripada gas, RI sudah menjadi negara importir minyak.
“Neraca perdagangan energi kita sudah negatif karena harga minyak US$110 per barel, sementara gas lebih murah sekitar US$7 setara per barelnya. Seandainya kendaraan pakai gas, jauh lebih murah,“ kata Darmawan, di Jakarta, kemarin.
Data PT Pertamina (persero) menunjukkan untuk pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM), 30% kebutuhan solar dan 70% premium berasal dari pasokan impor. Setiap bulan Indonesia harus mengimpor 13 juta barel kedua produk tersebut.
Kapasitas kilang yang ada di Indonesia sangat terbatas, sebesar 825 ribu barel per hari untuk proses minyak mentah yang hanya menghasilkan 75% BBM. Seiring dengan itu, 3,8 miliar barel cadangan minyak potensial yang dimiliki Indonesia akan habis dalam 11 tahun bila tidak ada temuan sumber minyak baru.
Sebaliknya, cadangan gas bumi di Tanah Air masih besar.Produksi harian yang mencapai 17,5 juta ton hampir seluruhnya diekspor karena adanya kese pakatan kontrak di masa lalu.Saat ini konsumsi dalam negeri hanya sekitar 1,5 juta ton.
Menurut Darmawan, pemerintah harus membangun infrastruktur secara masif dalam memenuhi kebutuhan energi gas yang lebih murah dan bersih.
“Pemerintah paling tidak mengucurkan dana Rp300 triliun-Rp400 triliun dari dana APBN untuk membangun infrastruktur gas secara masif.“
Dari sisi regulasi, Kepala Divisi Manajemen Risiko dan Perpajakan SKK Migas Sampe L Purba menambahkan, selain memberikan insentif dan kemudahan bagi para investor untuk menanamkan modal dalam pengembangan infrastruktur, pemerintah harus tetap memegang kendali tata niaga gas.
“Bisnis gas tidak boleh secara murni diserahkan kepada mekanisme pasar. Beberapa segmen seperti transmisi dan distribusi cenderung merupakan monopoli alami atau oligopolistik akan mendistorsi pasar dan konsumen apabila tidak ada pengaturan pemerintah,“ paparnya. Kebijakan terpadu Menurut Sampe, pemerintah harus mempertimbangkan dimensi kepentingan yang berbeda dari berbagai pemangku pihak.Untuk itu, diperlukan rumusan utuh dan terpadu untuk kebijakan gas nasional yang mampu mengantisipasi tantangan secara dinamis untuk jangka pendek dan jangka panjang.
Lebih lanjut, Sampe menyatakan pemerintah harus segera menerbitkan kebijakan penggunaan gas bumi termasuk gas alam cair (LNG) yang komprehensif yang dapat memastikan ketahan an energi yang tangguh.
Sebelumnya, Direktur Gas Per tamina Hari Karyuliarto me nyatakan permintaan gas diperkirakan naik 224-956 juta kaki kubik, khususnya gas kota.
“Pertumbuhan kebutuhan domestik akan meningkat 5,1% maka harus ada pengintegrasian hulu dan hilir di sektor gas.Kami butuh dukungan sebesarbesarnya dari Presiden Jokowi agar ini dapat tercapai.“ (E-1)
Sumber: Media Indonesia. 29 Oktober 2014. hal: 28

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.