JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup meminta agar analisis mengenai dampak lingkungan rencana pembangunan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah, ditinjau ulang, bahkan direvisi. Banyak data lapangan tidak dimasukkan, terutama terkait keberadaan ponor dan goa dengan sungai bawah tanah serta dihuni satwa langka.
Pihak PT Semen Indonesia yang dikonfirmasi kemarin menyatakan bersedia mundur jika memang di lokasi konsesi ditemukan berbagai indikator kawasan karst lindung itu.
”Amdal itu seperti foto. Kalau ada obyek penting dan belum terpotret, harus difoto lagi. Deputi I (Tata Lingkungan) harus memberi saran kepada komisi (penilai amdal di Jateng) agar ada aspek-aspek yang dilihat itu,” kata Arief Yuwono, Deputi Menteri Lingkungan Hidup (KLH) Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Rabu (22/10), di Jakarta.
Revisi, bahkan penyusunan kembali dokumen amdal, diperlukan. Sebab, berbagai temuan, seperti mata air, ponor, dan goa-goa, itu indikator penting ekosistem karst Rembang sebagai kawasan lindung.
Sebelumnya, Asisten Deputi Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Kerusakan Lahan KLH Antung Deddy Radiansyah menyebutkan, kelemahan amdal itu di antaranya tidak menyebut keberadaan air dalam goa-goa di lokasi penambangan. Sementara survei KLH dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan tiga ponor tempat masuknya air ke goa.
”Amdal pabrik semen di Rembang tidak lengkap karena tidak menggambarkan data lapangan secara utuh. Banyak informasi lapangan yang tidak terungkap,” tuturnya.
Kelelawar-kelelawar penghuni goa yang adalah pengusir hama, kata Antung, juga tidak tampak diperhitungkan. Siklus ekosistem juga tak tergambarkan, demikian pula tidak ada gambaran rantai makanan secara utuh. Padahal, mengetahui keseimbangan ekosistem karst itu penting, sekaligus tahu daya lenting ekosistemnya.
”Amdal lengkap penting untuk mengetahui seberapa jauh ekosistem bisa diubah. Sementara amdal Rembang tak memperhitungkan biota utuh,” katanya.
Siap revisiSekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia Agung Wiharto mengatakan siap merevisi amdal. Bahkan, siap mundur jika lokasi penambangan berada di kawasan yang memiliki indikator lingkungan yang harus dikonservasi, seperti keberadaan ponor, goa dengan aliran air bawah tanah, dan dihuni kelelawar.
”Kalau memang ada, kami akan mundur. Dulu, kami ajukan konsesi 1.300 hektar, sekarang tinggal 400 hektar, salah satunya karena alasan lingkungan ini. Kami yakin yang sepanjang 400 hektar ini aman. Kami sudah bor sampai kedalaman 200 meter enggak ada airnya,” katanya.
Ketua Yayasan Karya Alam Lestari Rembang Djumadi S Rama mengatakan, ia turut serta dengan peneliti LIPI dan KLH yang survei ke lapangan. ”Waktu itu memang ditemukan tiga ponor. Setelah itu, saya dan beberapa warga survei lagi, ketemu lagi empat ponor baru. Jadi, total ada tujuh ponor,” ungkapnya.
Agung mengatakan, pihaknya belum bisa menunjukkan lokasi 400 hektar lahan penambangan itu. Sejauh ini, lahan yang dibebaskan 300 hektar, masih ada 100 hektar. ”Jika kami sampaikan lokasinya, khawatir ada spekulan tanah,” katanya. (AIK/ICH/ISW)
Kompas 24102014 Hal. 14