JAKARTA-Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) meminta pemerintah menerapkan kebijakan yang sama antara perusahaan perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI) dengan masyarakat tradisional dalam proses pembukaan lahan (land clearing)
Itu diperlukan guna mengatasi maraknya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terus terjadi hampir setiap tahun. Selama ini, kebijakan land clearing yang ditetapkan peme rintah cenderung mendua, peru sahaan perkebunan dan HTI wajib menggunakan metode tanpa bakar (zero burning system) dalammembuka lahan, sebaliknya masyarakat tradi sional yang membuka lahan dengan cara bakar asalkan lahan kurang dari 2 hektare (ha) justru dianggap legal.
Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan mengungkapkan, karhutla sebenarnya hal yang biasa karena adanya suhu yang kerapkali ekstrem. Di Amerika Serikat (AS), Australia, bahkan Spanyol, karhutla juga terjadi. Namun demikian, di negara-negara lain di dunia, karhutla tidak terlalu dibesar-besarkan, lain halnya dengan Indonesia. Di Indonesia, industri sawit hampir selalu dituding sebagai penyebab terjadinya karhutla. “Di industri sawit, kami telah mematuhi aturan untukmenerapkanzero burning dalam proses land clearing. Namun di sisi lain, masyarakat tradisional yang membuka lahan dengan membakar asal kurang dari 2 ha malah dianggap legal, kalau suhu sedang tidak baik itu kan bisa menyebar, ini yang jadi per tanyaan kami atas masalah karhutla,” kata Fadhil kepada Investor Daily di Jakarta, Minggu (12/10).
Fadhil mengungkapkan, pemerin tah di satu sisi ingin terkesan melin dungi dengan mewajibkan penerapan zero burning system bagi perusahaan perkebunan, termasuk sawit, dan HTI. Tapi di sisi lain menerapkan kebijak an yang berbeda. Bagi perusahaan perkebunan ataupun HTI yang telah mengeluarkan investasi, mencederai investasinya denganmelanggar keten tuan, artinya melakukan pembukaan lahan dengan cara bakar adalah mus tahil. “Secara logika, perusahaan sawit telah menanamkan uang untuk berin vestasi, tentunya perusahaan beru saha menjalankan usahanya dengan mematuhi aturan yang berlaku, tidak mungkin dengan sengaja membakar lahan karena ini akan merugikan pe rusahaan itu sendiri,” ungkap Fadhil.
Menurut Fadhil, sejak karhutla terjadi dalam beberapa tahun terakhir, Gapki mendukung dilakukannya penegakan hukum bagi perusahaan perkebunan yang memang terbukti menjadi penyebab karhutla. Karena bagaimanapun karhutla telah mem buat citra industri sawit nasional menjadi buruk di mata internasional. “Karhutla telah merugikan industri sawit nasional di mata internasional, ini juga mengganggu iklim investasi. Karena itu, persoalan ini harus segera diselesaikan. Kami sendiri dari awal sangat setuju dengan adanya penegak an hukum, siapapun yang memang terbukti menyebabkan karhutla harus dibawa ke ranah hukum,” kata dia.
Lima Perusahaan Sawit
Hasil audit kepatuhan dalam mencegahkarhutla yangdilakukanTim Gabungan Nasional (TGN) Karhutla menyimpulkan bahwa terdapat lima pe rusahaanperkebunankelapa sawit yang tidak patuh dalam proses pencegahan karhutla. Audit dilakukan di Provinsi Riau selama 1 Juli-25 Agustus 2014, yakni menyasar enam kabupaten/kota dan 17 perusahaan perkebunan dan kehutanan. TGN Karhutla terdiri atas Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Kehutanan (Kemenhut), KementerianLingkunganHidup (KLH), BPREDD+, Unit Kerja PresidenBidang PengawasandanPengendalianPemban gunan (UKP4), para ahli serta asisten teknis. Selain lima perusahaan sawit, juga terdapat 12 perusahaan perkebun andankehutanan yang juga dinilai tidak patuh dalam pencegahan karhutla.
Ketua TGN Karhutla Bambang Hero Saharjo mengatakan, hasil audit menunjukkan bahwa lima perusahaan perkebunan tergolong tidak patuh, sementara 12 perusahaan kehutanan terdapat satu yang sangat tidak patuh, 10 tergolong tidak patuh, dan satu perusahaan kurang patuh. Sementara untuk audit pemerintah kabupaten/ kota menunjukkan satu kabupaten patuh, satu kabupaten cukup patuh, dan empat kurang patuh. Lima peru sahaan perkebunan sawit itu adalah PT JJP, PT MEG, PT TFDI, PT SAM, dan PT BNS. Lalu 12 perusahaan kehutanan itu adalah PT SRL Blok V (IUPHHK-HT), PT AA (IUPHHKHT), PT DRT (IUPHHK-HA), PT SPA (IUPHHK-HT), PT RUJ (IUPHHKHT), PT SPM (IUPHHK-HT), PT SRL Blok IV (IUUPHHK-HT), PT RRL (IUPHHK-HT), PT NSP (IUPHHBKSAGO), PT SG (IUPHHK-HT), PT SSL (IUPHHK-HT), dan PT SRL Blok III (IUPHHK-HT). Kemudian untuk enam kabupaten/kota yang diaudit adalah Kabupaten Bengkalis, Kabu paten Siak, Kabupaten Indraigiri Hilir, Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, dan Kabupaten Kepulauan Meranti.
Bambang mengatakan, berdasar kan audit, seluruh perusahaan yang tidak patuh itu melakukan kegiatan nya di atas lahan gambut dalam yang rawan kebakaran. Gambut dalam memiliki kateristik mudah terbakar dan mampu menyimpan api sehingga budidaya di atas kawasan tersebut harus dilakukan secara sangat hatihati. Di sisi lain, TGN Karhutla juga menemukan korelasi antara adanya konflik penguasaan lahan antara masyarakat dan perusahaan dengan potensi karhutla. Dalam wilayah konsesi hampir seluruh perusahaan yang diaudit terdapat wilayah yang secarade factodiduduki dan dikuasai oleh masyarakat. “Kondisi tersebut terjadi karena peran aktif masyarakat sendiri maupun sebagai akibat dari tidak dilakukannya penjagaan dan pengelolaan konsensi secara aktif oleh perusahaan. Ada tiga jenis kon flik penguasaan lahan yang memicu karhutla, yaitu di kawasan lindung perusahaan, penguasaan masyarakat di kawasan konsesi, dan konflik masyarakat yang berbatasan dengan konsesi,” ujar dia.
Investor Daily, Senin 13 Oktober 2014, hal. 7