JAKARTA – Kalangan investor minyak dan gas bumi (migas) me nunggu sejumlah insentif fiskal yang akan diluncurkan pemerintahan baru di bawah pimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Insentif di industri migas sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan kegiatan eksplorasi dan produksi migas.
Selain insentif, pemerintahan Jokowi-JK harus membuat terobosan kebijakan di sektor migas antara lain dengan menciptakan kepastian hukum dan menyederhanakan birokrasi. Tanpa adanya insentif dan teroboson kebijak an, penemuan cadangan migas baru akan sulit diwujudkan dan penurunan produksi migas tak terhindarkan.
Demikian rangkuman pandangan pemilikMedco Group Arifin Panigoro, Presiden Direktur & CEO PT Medco Energi Internasional Tbk Lukman Mahfoedz, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama Pertamina Muhamad Husen, Presiden untuk Total E&P Asia Pasifik Jean-Marie Guillermou, Corporate Communication Manager PT Chevron Pasific Indonesia Doni Indrawan, Wakil Ketua Komite Tetap Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi Kadin Firlie Ganinduto, dan Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi. Mereka dihubungi terpisah di Jakarta, pekan lalu.
Arifin Panigoro meminta pemerintahan baru berani mengambil teroboson kebijakan energi nasional untuk mengatasi krisis energi di Indonesia dalam 11 tahun ke depan. “Cadangan minyak kita akan habis dalam 11 tahun mendatang jika tidak ada temuan baru, maka Indonesia harus beraksi secepatnya untuk keluar dari jerat krisis energi,” kata Arifin dalam orasi ilmiah di Universitas Paramadina, Jakarta, Sabtu (11/10).
Arifin mengatakan, dengan biaya subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terus membengkak hingga ratusan triliun rupiah per tahun, maka pemerintahan baru harus berani mengalokasikan belanja negara dari BBM ke sektor lain yang lebih membutuhkan.
Arifin berharap pemerintahan mendatang dapat segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mendukung semua keinginan agar bangsa ini bisa keluar dari krisis energi.
“Penerbitan Perppu sebagai langkah awal dan pengembangan berbagai energi terbarukan dan untuk mengatasi kendala regulasi yang tumpang tindih, perpajakan hingga pelibatan petani kecil dalamproyek pengembangan kebun energi untuk penanaman bahan baku biofuel,” jelas dia.
Lukman Mahfoedz, presiden direktur & CEO PT Medco Energi Internasional Tbk yang juga presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), menuturkan, Indonesia perlu melihat dan belajar dari pengalaman negara lain dalam meningkatkan ki nerja sektor hulu migas.
Di Malaysia, kata dia, kombinasi antara insentif pajak dan kontrak bagi hasil serta partisipasi pemerintah dalam menanggung risiko eksplorasi awal telah menyebabkan penemuan cadangan baru yang signifikan, yang terbesar di Asia Tenggara.
Tantangan selanjutnya yang diha dapi oleh industri migas, kata Lukman, banyaknya peraturan yang menghambat investasi. Rumitnya birokrasi dan banyaknya perizinan migas yakni 69 jenis izin di sektor hulu migas yang meliputi 284 proses yang melibatkan 17 instansi pemerintah sehingga waktu yang dibutuhkan sekitar 20 tahun untuk mendapatkan persetujuan.
IPA, lanjut dia, berharap peme rintahan baru melakukan terobosan untuk segeramemberikan persetujuan terhadap mega proyek migas yang sedang dalam perencanaan agar dapat dieksekusi dan memberikan kontribusi produksi migas bagi negara.
Menurut dia, hal-hal yang dapat dilakukan pemerintah yakni pembe nahan regulasi, birokrasi, dan perizinan. Pemerintah juga harus memangkas perizinan migas menjadi lebih ringkas sertamelakukan penyelarasan peraturan antarlembaga pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dari sisi fiskal, kontrak kerja sama migas dapat dibuat lebih menarik bagi investor dengan memberikan insentif.
Insentif diperlukan karena kendala-kendala yang dihadapi pelaku migas dan semakin sulitnya mencari sumber-sumber baru, terutama di daerah frontier dan laut dalam. Insentif pun harus diberikan terhadap kegiatan pengembangan baru yang memerlukan teknologi tinggi dan biaya investasi yang besar, seperti EOR danunconventional hydrocarbons seperti shale gas, shale oil, serta coal bed methane (CBM).
Menurut dia, kondisi di dalam negeri harus diubah agar produksi minyak nasional bisa membaik. Sa yangnya, upaya eksplorasi ini masih banyak hambatan. “Seperti soal perizinan yang butuh waktu lama dan pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB) baik pada blok produksi maupun eksplorasi,” tutur dia.
Saat ini terdapat 22 blok yang digarap oleh 16 perusahaan migas yang dikenakan PBB sebesar Rp 3,2 triliun.
Lukman mengatakan, beban pajak ini menyulitkan perusahaan migas, utamanya yang masih melakukan eksplorasi dan belum mendapat pen dapatan apa pun dari blok yang dikelolanya. Pihaknya sudahmenyampaikan kesulitan tersebut kepada pemerintah namun tetap dikenakan.
Akhirnya, terkait masalah pajak ini, pihaknya ingin penyelesaian melalui pengadilan apakah perusahaan migas harus membayar pajak tersebut. IPA hanya meminta agar sebelum proses di pengadilan selesai, perusahaan migas tidak diharuskan membayar PBB tersebut.
“Ada aturan bahwa perusahaan migas harus bayar dulu pajaknya 50 persen sebelum masalah pajak ini diproses di pengadilan. Jumlah itukan cukup besar, maka kami minta untuk ditiadakan,” ujar dia.
Sementara itu, Corporate Communication Manager PT Chevron Pasific Indonesia Doni Indrawan yakin peme rintahan Joko Widodo akan memberi optimisme dan peluang perbaikan kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong pengembangan industri migas untuk tahun-tahun mendatang.
Dia juga mengatakan, peluang untuk peningkatan investasi di bidang eksplorasi bisa didorong dengan koordinasi antar-lembaga pemerintah dan penyelarasan berbagai peraturan serta penyederhanaan proses perizinan baik di pusat maupun di daerah.
Senada, Wakil Ketua Komisi Tetap Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi Kadin Firlie Ganinduto juga mengeluhkan lamanya proses birokrasi untukmengurus perizinan investasi di sektor migas. Untuk melakuan pengeboran migas diperlukan 100 perizinan. Angka ini lebih baik dibandingkan sebelumnya sekitar 200 perizinan.
Pelaksana Tugas Direktur Utama Pertamina Muhamad Husen menga takan, kendala dan permasalahan yang dihadapi sama dengan yang dialami oleh perusahaanmigas lain yang beroperasi di Indonesia.
Sementara itu, Presiden untuk Total E&P Asia Pasifik Jean-Marie Guillermou menuturkan, Pemerintah Indonesia harus menghormati kontrak kerja sama (KKS) yang telah diteken dengan perusahaan migas.
“Indonesia perlu menghormati kontrak tersebut, perlu menghindari peraturan seperti PP 79/2010 yang merupakan mimpi buruk bagi investor,” kata dia.
Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi menuturkan, industri energi bukanlah industri instan. Sehingga ketika inginmengoptimalkan produksi migas misalnya, hasilnya baru bisa diperoleh dalam 5 tahun mendatang.
Untuk itu, lanjut dia, pemerintah harusmulai menghilangkan hambatan eksplorasi. “Yang diinginkan KKKS itu sama seperti di jenis usaha lain, seperti kepastian hukum, kemudahan perizinan, dan kalau bisa insentif investasi,” ujar dia.
Pemerintah Bantu
Wakil Menteri ESDMSusilo Siswoutomomengatakan, proses perizinan dalam birokrasi saat ini memang sulit dan membutuhkan waktu lama. Penyelesaian perizinan butuh waktu 2 tahun, sementara pemboran satu sumur hanya perlu 3 bulan. “Makanya pemerintah punya kewajiban untuk meng-cut pro ses yang lama ini,” ujar dia.
Menurut Susilo, proses penyederhanaan perizinan ini sudah berjalan. Pemerintah daerah pun sudah sangat membantu sehingga proses perizinan sudah lebih cepat. Sayangnya, penyelesaian perizinan itu belum secepat yang diharapkan.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala SKKMigas Johanes Widjonarko menuturkan, jumlah perizinan proyek migas sudah bisa dikurangi dari sebelumnya 289 izin menjadi 69 izin. Rencananya, jumlah izin ini akan dipersempit lagi hingga hanya tersisa 9 kluster saja.
“Sekarang sedang proses sinkronisasi dari 69 perizinan itu, apakah ada saling tumpang tindih karena dilihat juga kepentingan sektor itu,” ujar dia. (es)
Investor Daily, Senin 13 Oktober 2014, hal. 1