Produk Impor Mendominasi: Pemerintah Perlu Intervensi Pasar Baja

CILEGON – Pemerintah perlu mengintervensi pasar baja guna memperkuat industri baja lokal. Saat ini, pasar baja dalam negeri dikuasai produk impor.
Tahun lalu, dari total penjualan baja sebanyak 14,3 juta ton, porsi baja impor mencapai 8,4 juta ton, sedangkan lokal hanya 5,9 juta ton.
Presiden Direktur PT Krakatau Steel Tbk (KS) Irvan Kamal Hakim menyatakan, intervensi dapat dilakukan melalui berbagai kebijakan. Salah satunya adalah optimalisasi programpeningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN). Dia menilai, P3DN belum berjalan maksimal. Buktinya, banyak proyek pemerintah tidak menggunakan baja lokal.
Dia menyatakan, pemerintah seharusnya mengikuti langkah Pemerintah Korea Selatan (Korsel) yang mewajibkan penggunaan baja lokal di setiap proyek infrastruktur. Imbasnya, Pohang Iron and Steel Company (Posco), raksasa baja Korsel, memiliki kapasitas produksi 32 juta ton per tahun, jauh di atas KS yang hanya 3,25 juta ton per tahun. Padahal, usia KS dan Posco sama.
“Industri baja sangat memerlukan dukungan pemerintah. Pemerintah harus menciptakan pasar untuk industri baja lokal,” kata dia di Cilegon, belum lama ini.
Setelah pasar tercipta, dia melanjutkan, pemerintah perlu memproteksi industri baja melalui mekanisme tarif.
Dia menilai, tarif bea masuk (BM) impor baja saat ini sebesar 0-5% terlalu rendah. Sebagai perbandingan, Malaysia memasang tarif BM 25% untuk impor baja. Dia menilai, pasar baja nasional sangat prospektif, dengan pertumbuhan 8-12% per tahun. Namun, pertumbuhan ini lebih banyak dinikmati pemain asing karena struktur tarif terlalu liberal.
“Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) sudah mengusulkan ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian, untuk mengharmonisasi tarif di sektor baja. Namun, saya belum bisa menyebutkan berapa besar kenaikan tarif BMyang diinginkan karena masih dibahas,” ujar dia.
Di sisi lain, KS menargetkan pengurangan biaya sebesar US$ 173 juta tahun ini melalui program efisiensi. Ini dilakukan dengan mengubah pola produksi dan memangkas biaya overhead.
“Efisiensi harus dilakukan di tengah iklim usaha yang penuh tantangan,” ujar Irvan. Menurut dia, biaya produksi baja saat ini meningkat. Pemicunya adalah kenaikan upah minimum provinsi (UMP), listrik, dan harga gas. Di saat yang sama, harga baja global terpuruk, sehingga pabrikan baja sulit menggenjot profitabilitas. September lalu, harga baja sudah jebol ke bawah US$ 600 per ton.
Dia menambahkan, perubahan pola operasi dilakukan dengan menghentikan sementara operasional pabrik besi dan baja lembaran setengah jadi (slab), serta memangkas produksi baja billet. Hal ini mampu menghemat biaya Rp 1 triliun.
Keputusan itu, kata Ir van, diambil setelah perseroan memperhitungkan semua sumber biaya bahan baku, semi-finished, dan harga jual. Saat ini, kontribusi energi dan bahan baku mencapai 85% terhadap total biaya produksi.
“Sebagai kompensasi penghentian produksi besi dan slab, perseroan akanmemaksimalkan produksi dan penjualan produk baja gulung,” kata dia.
Kebutuhan slab perseroan dipenuhi dari PT Krakatau Posco dan impor. Krakatau Posco, perusahaan patungan KS dengan Posco, memiliki pabrik slab dan pelat baja berkapasitas 3 juta ton per tahun.
Sementara itu, dia menerangkan, penurunan biaya overhead dilakukan dengan mengurangi tenaga alih daya (outsourcing) dan pegawai tetap.
Dia menilai, langkah itu terpaksa dilakukan karena biaya produksi semakin tinggi dan harga baja belum juga bangkit. Bahkan, perusahaan baja tercanggih di Indonesia, Krakatau Posco, sulit menuai laba di tengah kondisi saat ini.
“Harga baja saat ini terlalu rendah. Yang terpenting bagi kami sekarang adalah menjaga likuiditas,” kata dia. (ac)
Investor Daily, Kamis 9 Oktober 2014, Hal. 8

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.