JAKARTA, KOMPAS — Kondisi industri hilir berbahan baku kertas berantakan. Banyak industri kecil yang tutup. Mereka mengatakan sulit mendapat bahan baku. Kondisi ini akan parah jika pemerintah menerapkan bea masuk untuk kertas dan membiarkan penguasaan hulu-hilir industri ini.Beberapa kalangan yang ditemui Kompas, Senin (6/10), mengatakan, industri hilir kertas banyak dikerjakan oleh usaha kecil dan menengah. Mereka mengerjakan mulai dari pembuatan buku tulis, amplop, brosur, kertas kado, kemasan makanan, hingga kuitansi. Apabila diterapkan bea masuk, mereka akan sulit berusaha.
”Kalau biaya kertas naik, otomatis harga tinta dan pelat cetak juga naik. Sementara jika harga buku naik, daya beli masyarakat belum mampu untuk mengikuti kenaikan tersebut,” kata Direktur Penerbit Agromedia Pustaka Hikmat Kurnia.
Kertas impor digemari oleh perusahaan penerbit dan percetakan karena harganya lebih murah daripada kertas lokal. Contohnya, harga kertas karton berlapis impor yang digunakan untuk sampul buku adalah 740 dollar AS per ton. Sementara harga produk lokal 900 dollar AS setiap ton. Harga kertas HVS impor juga lebih murah dibandingkan dengan kertas lokal.
Menurut Hikmat, kegemaran terhadap buku bersifat pribadi. Artinya, apabila harga buku naik, masyarakat akan lebih selektif dalam memilih buku yang akan mereka beli sehingga banyak judul buku yang tidak akan laku di pasaran.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Cabang DKI Jakarta Evi Afrizal Sinaro pada kesempatan terpisah mengatakan, jalan keluar lainnya adalah dengan mengurangi jumlah produksi.
Ia menjelaskan, 70 persen penerbit di Indonesia adalah berskala kecil hingga menengah. Mereka biasanya mencetak dua hingga lima judul buku per bulan, masing-masing berjumlah rata-rata 3.000 eksemplar.
Agar bisa bertahan hidup, penerbit kemungkinan hanya mencetak dua hingga tiga judul per bulan, masing-masing dengan eksemplar sebanyak 1.500 atau 2.000. Artinya, akan ada banyak naskah yang dikorbankan. ”Itu karena penerbit tidak mau mengambil risiko menerbitkan buku yang mereka anggap tidak akan laku di pasar meskipun bermutu bagus,” kata Evi.
Bagi penerbit buku luks, seperti ensiklopedia dan kamus, kenaikan bea masuk kertas impor tidak berpengaruh karena penerbit buku luks menerbitkan buku sesuai dengan permintaan klien dengan jumlah terbatas, hanya 1.000 set. Satu set umumnya berisi 10 jilid buku.
”Sebanyak 70 persen pemasaran buku luks adalah berdasarkan pemesanan lembaga tertentu, seperti lembaga pemerintah, perusahaan swasta, dan sekolah,” kata Direktur Produksi Penerbit Lentera Abadi Augustinus Subekti.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi ketika dihubungi mengatakan, wacana mengenai penerapan bea masuk
impor untuk produk kertas masih sebatas pada tingkat usulan pelaku usaha, yaitu produsen kertas dalam negeri. Pemerintah belum membahas dan baru mengumpulkan data mengenai hal itu.
Menurut dia, hingga saat ini belum ada penetapan bea masuk kertas. Pemerintah masih mengumpulkan data terkait
persoalan tersebut karena ada usulan dari pelaku usaha atau produsen kertas dari dalam negeri.
Ketua Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Ernawati mengatakan, KPPI masih menyelidiki persoalan impor kertas. Penyelidikan dilakukan karena terjadi peningkatan impor kertas yang menimbulkan kerugian bagi industri pemohon, yaitu produsen kertas dalam negeri. ”Nanti tergantung hasil penyelidikan, apakah diusulkan bea masuk tambahan,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan, penyelidikan dilakukan hingga setiap perusahaan. Hasilnya kemudian dilaporkan kepada Menteri Perdagangan.
Panggah mencontohkan, seandainya hasil penyelidikan membuktikan adanya praktik di negara pengekspor kertas yang merugikan industri dalam negeri, dapat diambil langkah maksimal.
”Kementerian Perdagangan kemudian membuat surat resmi untuk meminta pendapat dari Kementerian Perindustrian,” kata Panggah. (WIE/CAS/A15)
Kompas 07102014 Hal. 18
”Kalau biaya kertas naik, otomatis harga tinta dan pelat cetak juga naik. Sementara jika harga buku naik, daya beli masyarakat belum mampu untuk mengikuti kenaikan tersebut,” kata Direktur Penerbit Agromedia Pustaka Hikmat Kurnia.
Kertas impor digemari oleh perusahaan penerbit dan percetakan karena harganya lebih murah daripada kertas lokal. Contohnya, harga kertas karton berlapis impor yang digunakan untuk sampul buku adalah 740 dollar AS per ton. Sementara harga produk lokal 900 dollar AS setiap ton. Harga kertas HVS impor juga lebih murah dibandingkan dengan kertas lokal.
Menurut Hikmat, kegemaran terhadap buku bersifat pribadi. Artinya, apabila harga buku naik, masyarakat akan lebih selektif dalam memilih buku yang akan mereka beli sehingga banyak judul buku yang tidak akan laku di pasaran.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Cabang DKI Jakarta Evi Afrizal Sinaro pada kesempatan terpisah mengatakan, jalan keluar lainnya adalah dengan mengurangi jumlah produksi.
Ia menjelaskan, 70 persen penerbit di Indonesia adalah berskala kecil hingga menengah. Mereka biasanya mencetak dua hingga lima judul buku per bulan, masing-masing berjumlah rata-rata 3.000 eksemplar.
Agar bisa bertahan hidup, penerbit kemungkinan hanya mencetak dua hingga tiga judul per bulan, masing-masing dengan eksemplar sebanyak 1.500 atau 2.000. Artinya, akan ada banyak naskah yang dikorbankan. ”Itu karena penerbit tidak mau mengambil risiko menerbitkan buku yang mereka anggap tidak akan laku di pasar meskipun bermutu bagus,” kata Evi.
Bagi penerbit buku luks, seperti ensiklopedia dan kamus, kenaikan bea masuk kertas impor tidak berpengaruh karena penerbit buku luks menerbitkan buku sesuai dengan permintaan klien dengan jumlah terbatas, hanya 1.000 set. Satu set umumnya berisi 10 jilid buku.
”Sebanyak 70 persen pemasaran buku luks adalah berdasarkan pemesanan lembaga tertentu, seperti lembaga pemerintah, perusahaan swasta, dan sekolah,” kata Direktur Produksi Penerbit Lentera Abadi Augustinus Subekti.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi ketika dihubungi mengatakan, wacana mengenai penerapan bea masuk
impor untuk produk kertas masih sebatas pada tingkat usulan pelaku usaha, yaitu produsen kertas dalam negeri. Pemerintah belum membahas dan baru mengumpulkan data mengenai hal itu.
Menurut dia, hingga saat ini belum ada penetapan bea masuk kertas. Pemerintah masih mengumpulkan data terkait
persoalan tersebut karena ada usulan dari pelaku usaha atau produsen kertas dari dalam negeri.
Ketua Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Ernawati mengatakan, KPPI masih menyelidiki persoalan impor kertas. Penyelidikan dilakukan karena terjadi peningkatan impor kertas yang menimbulkan kerugian bagi industri pemohon, yaitu produsen kertas dalam negeri. ”Nanti tergantung hasil penyelidikan, apakah diusulkan bea masuk tambahan,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan, penyelidikan dilakukan hingga setiap perusahaan. Hasilnya kemudian dilaporkan kepada Menteri Perdagangan.
Panggah mencontohkan, seandainya hasil penyelidikan membuktikan adanya praktik di negara pengekspor kertas yang merugikan industri dalam negeri, dapat diambil langkah maksimal.
”Kementerian Perdagangan kemudian membuat surat resmi untuk meminta pendapat dari Kementerian Perindustrian,” kata Panggah. (WIE/CAS/A15)
Kompas 07102014 Hal. 18