JAKARTA – Kedudukan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Mi nyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang hanya sementara (interim) harus segera berakhir agar tercipta kepastian hukum pada industri migas. Namun, lembaga atau badan yang akan menggantikan tugas dan fungsi SKK Migas harus sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni berbentuk badan usaha milik negara (BUMN).
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala SKK Migas Johanes Widjonarko mengatakan, bentuk pengelolaan sektor migas yang tepat adalah dilakukan oleh BUMN. Hal ini sejalan de ngan amar putusan MK pada November 2012 mengenai uji materi UUNomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). “Perhatikan saja amar putusan MK, pertimbangannya apa. Di situ disebutkan bahwa ke depan dikelola BUMN,” kata Widjonarko kepadaInvestor Dailydi Jakarta, Jumat (3/10).
Widjonarko meyakini putusan MK tersebut mampumembawa perubahan dalam tata kelola sektor migas. Namun, dia menegaskan model pengelolaan migas bukanlah wewenang SKK Migas untuk menentukannya.
Terkait apakah fungsi SKK Migas nantinya dilebur dengan BUMN yang sudah ada atau dibentuk BUMN yang baru, Widjonarko menyarankan sebai knya diputuskan melalui kajian akade mik untuk melihat kesesuaian bentuk badan dengan peraturan perundangan yang berlaku sebagaimana tata kelola migas yang akan ditetapkan.
“BUMN yang akan dibentuk bisa saja melaksanakan tugas sejak peny iapan wilayah kerja (WK), penetapan WK, penandatanganan kontrak kerja sama, sampai dengan pengakhiran kontrak tersebut,” jelas dia.
Mengenai kapan sebaiknya status SKK Migas ini ditetapkan, Widjon arko menyebut sebaiknya secepatnya dan tidak perlu menunggu selesainya revisi UU Migas. “Status SKK Migas sebaiknya ditetapkan melalui perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang),” tutur dia.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)Ad Interim Chairul Tanjung menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintahan mendatang mengenai bentuk badan pengelola sektor migas. “Kami serah kan ke pemerintah yang baru. Biarkan mereka yang putuskan,” ujar dia.
SKK Migas adalah lembaga yang dibentuk pemerintahmelalui Peraturan Presiden (PP)Nomor 9Tahun 2013 ten tangPembentukanSatuanKerjaKhusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Kedudukan SKK Migas hanya sementera (interim) sebagai pengganti Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang dibubarkan setelah MKmembatalkan pasal-pasal dan frase dalamUUNomor 22Tahun 2001 terkait BPMigas pada putusan uji materi terha dap undang-undang tersebut.
Opsi Pertamina
Dihubungi terpisah, Direktur Ek sekutif Indonesia Resources Studies (Iress)MarwanBatubaramengatakan, bentuk lembaga pengganti SKKMigas sebaiknya BUMN sesuai amar putusan MK. Hal itu terjadi di banyak negara, seperti di Malaysia ada Petronas dan di Arab Saudi ada Saudi Aramco.
“Cukup satu BUMN saja. Saya setuju SKK Migas dibubarkan karena lembaga ini hanya bersifat semen tara (interim) yang dibentuk oleh perpres, bukan undang-undang. Sete lah dibubarkan, karyawan SKKMigas dipindah ke Pertamina dan menjadi bagian dari Pertamina sehingga terjadi efisiensi karena tidak harus memben tuk lembaga baru,” ujar dia.
Marwan menjelaskan, Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan pengua saan negara atas sumber-sumber kekayaan alam ada lima aspek, yakni aspek kebijakan, pengaturan, pengu rusan, pengawasan, dan pengelolaan. Aspek-aspek kebijakan, penguru san, dan pengawasan ada di Kemente rian ESDM.
Aspek pengaturan ada di kementerian dan DPR karena terkait dengan pembuatan undang-undang dan peraturan. Sedangkan aspek pengelolaan ada di BUMN karena terkait pengelolaan aset-aset yang sebelumnya dikelola SKK Migas.
“Saya kira di Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan Kemen terian Keuangan ada aspek-aspek pengaturan. Tapi yang salah selama ini, BP Migas maupun SKK Migas berbentuk badan hukummilik negara (BHMN),” kata dia.
Selain itu, lanjut dia, aspek tata kelola (governance) menyangkut perundangundangan dan peraturan mesti diberes kan. Harus ada opsi menjadikan Per tamina sebagai perusahaan terbuka tidak tercatat (non listed public company) dengan menjual sahamnya tidak lebih dari 1% agar masih bisa mendapatkan privilege (keistimewaan) dari negara.
Marwan menilai otomatis kontrak yang sudah berjalan masih tetap berlaku sampai masa kontraknya berakhir jika kedudukan SKK Migas diserahkan ke Pertamina.
Marwan juga mengatakan, dibutuh kan payung hukum agar kedudukan SKK Migas bisa segera dialihkan ke Pertamina. “UU Migas harus segera direvisi karena banyak pasalnya yang sudah dibatalkan oleh MK. Saya dengar akan diterbitkan perppu oleh pemerintahan Jokowi-JK,” kata dia.
Namun, menurut dia, penerbitan perppu hanya solusi jangka pendek dan harus memenuhi syarat, yakni dalam kondisi yang sudah memaksa. “Sekarang ini animo investor untuk ikut tender sangat rendah setelah BP Migas dibubarkan. Artinya, mereka menahan diri karena situasinya masih interim. Akan menjadi alasan untuk menerbitkan perppu jika suatu saat produksi migas anjlok tajam,” kata dia.
Dalam UU Migas yang baru, lanjut Mar wan, Per tamina sebagai pe main atau operator harus diperjelas fungsinya, termasuk Kementerian ESDMsebagai regulator. Hal ini untuk menghindari jika Pertamina digugat kontraktor kontrak kerja sama (KKS). Jika fungsi dan tugas SKK Migas diserahkan ke Pertamina,
Marwan menilai tata kelola migas tidak boleh lagi seperti sekarang. Selain itu, pen gelolaan keuangan Pertamina harus jelas dan tegas, termasuk piutang Per tamina sebesar Rp 67 triliun kepada negara harus dibereskan. Marwan melanjutkan, yang juga pent ingadalahUUBUMNtidakbisadijadikan acuan kalau nantinya bakal menghambat tugas dan fungsi Pertamina mengganti kan SKK Migas. “Harus dibuat UU khu sus, lex specialist, untuk menjadi payung hukumPertamina,” kata dia.
Di samping itu, kata dia, Pertamina harus bekerja dan tidak boleh hanya mengandalkan pembagian hasil dari kontraktor KKS atau hanya menjadi tuan tanah.
Menurut Marwan, Pertamina se harusnya mendapatkan kembali 70% labanya dan hanya 30% yang disetor ke negara sebagai dividen. Hal itu terjadi di Petronas yang mendapatkan kem bali 80-90% labanya untuk investasi.
Lembaga Baru
Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, pengganti kedudukan SKK Migas harus dibentuk lembaga baru. “Apa pun bentuk badan hukumnya, peng ganti SKKMigas ini harus diatur oleh UU seperti halnya pembentukan Lem baga Penjaminan Simpanan (LPS) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),” kata dia kepadaInvestor Daily di Jakarta, Sabtu (4/10).
Dia mengatakan, di dalam UU yang baru nantinya disebutkan bahwa badan hukum itu bisa melakukan pengawasan terhadap kontrak-kontrak migas dan melakukan kegiatan kom ersial seperti terjadi pada LPS yang memberikan jaminan risiko. “Sebaikn ya jangan dikembalikan ke Pertamina karena Pertamina sudah berbisnis di luar negeri,” ujar dia.
Dengan adanya kewenangan me nandatangani kontrak-kontrak migas, lanjut dia, jika ada gugatan dari kon traktor KKS maka akan berhenti di badan itu. Sedangkan jika kedudukan SKKMigas dikembalikan ke Pertami na maka Pertamina yang akanmenjadi tergugat seperti dalam kasus Karaha Bodas yang akhirnya negara harus membayar gugatan hingga US$ 267 juta dari nilai kontraknya US$ 50 juta.
Menurut Hikmahanto, putusanMK yang membubarkan BPMigas karena adanya inefisiensi pada lembaga ini se hingga memberi alasan untuk menilai inkonstitusional.
Hikmahanto jugamengatakan, dalam UUMigas yang baru harus diatur siapa yang punya wewenang melakukan pengawasan, apakah pemerintah cq Kementerian ESDM atau pengawasan melekat pada badan baru tersebut yang juga sebagai regulator.
“Nantinya badan baru tersebut sebagai wakil negara, pengawas kontrak-kontrak migas, dan menjalan kan tugas-tugas yang menjadi hak negara. Namun tata kelolanya harus bagus agar terhindar dari kasus-kasus korupsi,” tambah dia.
Hikmahanto menilai, jika opsinya dibentuk BUMN baru sebagai peng ganti SKKMigas maka akan bertabra kan dengan UU Perseroan Terbatas yang mewajibkan BUMN mencari untung. Di samping itu, kalau BUMN tersebut dipailitkan maka akan mere potkan negara.
Hikmahanto menyarankan undangundang yang menjadi payung hukum badan ini harussui generis, artinya ada pengaturan yang khusus. Senada dengan hal itu, analis en ergi dari Bower Group Asia Rangga D Fadillah berpendapat, sebaiknya fungsi badan pelaksana seperti SKK Migas tidak dilebur dengan BUMN migas yang sudah ada (Pertamina). Pasalnya, itu dikhawatirkan dapat menimbulkan potensi monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. (rap)
Investor Daily, Senin 6 Oktober 2014, hal. 1